Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Evolusi Budaya sebagai Dampak Penggusuran

28 April 2016   10:58 Diperbarui: 24 Mei 2016   11:46 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber: manado.tribunnews.com

Jakarta tengah disorot. Salah satu isunya adalah keputusan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta untuk menggusur masyarakat yang berada di lahan milik negara. Terkait hal itu, ada banyak pengamat yang tidak setuju. Alasannya, penggusuran membuat masyarakat dicerabut dari (akar) budayanya.

Ketika mendengar silang pendapat tentang penggusuran, awalnya biasa saja. Misalnya, terkait istilah, pemda tidak menggunakan penggusuran tetapi relokasi. Artinya, masyarakat terdampak dipindahkan tempat tinggalnya ke rumah susun. Bagi mereka yang sinis menggunakan istilah "penggusuran" karena masyarakat dipaksa pergi meninggalkan tempat tinggal dan mata pencariannya, tidak peduli mereka mau ke mana setelah itu. Saya tidak peduli dengan beragam istilah tersebut, tapi kata "budaya" yang membuat saya risih.

Misalnya ada ungkapan yang intinya menolak penggusuran, relokasi, atau istilah lain karena merusak tatanan budaya masyarakat terdampak. Keputusan tersebut mencerabut akar budaya masyarakat. Atau beragam pernyataan serupa lainnya. Pondasi argumentasi mereka adalah "budaya". Pertanyaannya, yang mana yang disebut dengan budaya itu? Budaya apa yang sebenarnya tercerabut?

Mau gak mau saya buka-buka lagi pelajaran antropologi-sosiologi zaman kuliah. Pertama yang saya dapatkan adalah kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti budi, pikiran atau akal manusia. Budaya terkait dengan segala sesuatu yang timbul, berasal, atau dari pikiran manusia. Saya melihat pengertian ini bersifat netral, atau dalam tata bahasa Latin masuk kategori neutrum.

Istilah budaya lalu dikembangkan para pakar. Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat (1923-1999), antropolog Indonesia, menyebut kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui proses belajar.

Tidak jauh dari Koentjaraningrat, antropolog dari Inggris bernama Sir Edward Burnett Tylor (1832-1917) merumuskan kebudayaan sebagai keseluruhan dari yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Tylor yang terkenal dengan penelitian evolusi kebudayaannya itu, mengungkapkan sifat hakikat kebudayaan adalah corak unik yang diperlihatkan oleh masing-masing masyarakat. Keunikan tersebut dapat terlihat dari perilaku manusia yang ada di masing-masing masyarakat tersebut. Hal ini terjadi karena kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia itu sendiri. Contohnya, masyarakat pesisir lebih mudah menerima perbedaan daripada masyarakat yang tinggal di pegunungan. Karena masyarakat pesisir lebih banyak berinteraksi dengan beragam orang, budaya, dan latar belakang melalui jalinan ekonomi pelabuhan.

Dalam konteks penggusuran di Jakarta, masyarakat di Kampung Pulo, Kalijodo, Luar Batang atau daerah lainnya merasa budayanya dirusak oleh kebijakan pemerintah daerah. Para pendukung mereka juga sepakat, bahwa ada pelanggaran hak asasi di sana. Dengan digusur maka nilai budaya seperti pengetahuan (terkait mata pencarian atau keahlian), kepercayaan (kelekatan pada tempat ibadah tertentu), kesenian atau adat istiadat yang telah mereka jadikan milik dari proses pembelajaran yang panjang, dihilangkan begitu saja dalam waktu sehari.

Namun kita harus kritis. Budaya yang dalam hal ini saya anggap bersifat netral, dapat dilihat atau dinilai dari wujudnya. Seperti yang dikatakan Tylor, budaya bisa dilihat dari perilaku masyarakatnya. Karena budaya buah dari pikiran, maka perilaku yang kita lihat adalah hasil dari konstruksi berpikir masyarakatnya. Pemerintah daerah melakukan penggusuran dan merelokasi masyarakatnya karena daerah tersebut kumuh dan tidak sehat (baik secara fisik maupun sosial).

Budaya yang tercipta melalui proses pembelajaran terus menerus dinilai tidak tepat karena wujudnya adalah membuang sampah di sungai dan laut, mandi-cuci-kakus di air sungai dan laut yang tercemar, membuka bisnis prostitusi-miras-judi dengan kedok cafe, membangun rumah tidak sehat dengan instalasi listrik bermasalah. Kita bisa maklum mereka yang tinggal di daerah tersebut "nyaman" dengan situasi seperti itu karena sudah menjadikannya milik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun