Mohon tunggu...
Hilman Fadil
Hilman Fadil Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Mahasiswa Universitas Komputer Indonesia Yang menempuh program studi Ilmukomunikasi , Senang Berorganisasi dan Berkegiatan serta suka Mencoba hal hal baru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Pahit Seorang Ayah: Kesendiriannya yang Merayap di Antara Kenangan Sang Istri

9 Januari 2024   19:51 Diperbarui: 10 Januari 2024   23:22 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bandung - Di balik senyumnya yang pernah hangat, terdapat seorang ayah yang tengah merangkak di lorong kesendirian. Warno (50) , seorang pria paruh baya yang terpinggirkan oleh keadaan. Meskipun raut wajahnya mencerminkan kebijaksanaan dan kehangatan, hatinya ternyata dirundung oleh kesepian yang dalam.

Seiring berjalannya waktu, Pak Warno harus menghadapi kenyataan pahit bahwa anak-anaknya telah tumbuh dewasa dan mengejar impian mereka sendiri lalu Istri nya harus meninggalkannya dari dunia ini. Rumah yang dahulu riuh oleh tawa dan cerita kini hanyalah saksi bisu dari waktu yang berlalu. Pak Warno harus menggenggam erat-erat kenangan yang mulai pudar, sementara kehampaan merajalela di dalam dinding rumahnya.

Setiap pagi, Pak Warno bangun untuk mempersiapkan jualannya yaitu berjualan nasi goreng keliling. Pak Warno melakukan kegiatan tersebut karena ia berkata "walaupun istri saya sudah tidak ada, dan anak-anak sedang mengejar impiannya masing-masing, saya harus tetap berjuang, saya harus tetap hidup" ucapnya.

Walaupun penghasilan yang didapatkannya terbilang cukup kecil kisaran 150-200rb perhari, hal itu justru membakar semangat Pak Warno untuk terus melanjutkan kehidupannya dan berusaha mewujudkan impian anaknya

Andi yang saat ini menjalani proses perkuliahan pun berjuang untuk mengangkat derajat keluarganya, seolah tak mau kalah dengan bapak nya ia juga sambil berjualan di kampusnya, mengesampingkan gengsi dan ego disaat anak anak seusianya sibuk dengan hiburan anak muda ia justru berpikir keras untuk sukses.Tak hanya berjualan Andi juga sibuk mencari beasiswa untuk melanjutkan studinya
 
Suara langkah anak-anak yang dulu riuh kini telah berganti dengan kesunyian yang membeku. Malam-malamnya dihabiskan dengan menatap langit kamar, sambil merenungi kehidupan yang telah berubah begitu cepat.

Kesendirian Pak Warno bukanlah pilihan, melainkan konsekuensi dari perubahan yang tak terelakkan. Anak-anaknya pergi mencari jalan mereka masing-masing, meninggalkan Pak Warno di belakang, lalu istrinya telah pulang lebih dahulu disisi tuhan. Antara kewajiban sebagai seorang ayah untuk menafkahi anak-anaknya yang masih duduk di bangku kuliah dan hak untuk mengejar impian sendiri telah menciptakan jurang yang sulit diatasi.

Meski terpuruk dalam kesendirian, Pak Warno mencoba bertahan. Kenangan menjadi pelipur lara, dan dia merangkak perlahan-lahan untuk menemukan arti baru dalam hidupnya. Melalui kegigihan dan tekadnya, Pak Warno berusaha mencari keseimbangan antara menghormati masa lalu dan merangkul masa depan yang baru.

Dalam kesedihannya yang mendalam, kisah Pak Warno menjadi cermin bagi banyak orang yang harus menghadapi kesendirian di usia senja mereka. Melalui perjuangannya, kita diingatkan bahwa kehidupan adalah perjalanan penuh warna, dan setiap langkah memiliki makna tersendiri, bahkan ketika melibatkan kesendirian yang sulit dihindari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun