Kerusuhan Mei 1998 merupakan salah satu tragedi terbesar dalam sejarah Indonesia. Berdasarkan pemberitaan Kompas, 18 Mei 1998, kerugian fisik yang terjadi akibat kerusuhan dalam dua hari antara 13-14 Mei di Jakarta, sekitar Rp 2,5 triliun.
Kerusuhan tersebut merusak 13 pasar, 2.479 ruko, 40 mal/plaza, 1.604 toko, 45 bengkel, 2 kecamatan, 11 polsek, 383 kantor swasta, 65 kantor bank, 24 restoran, 12 hotel, 9 pom bensin, 8 bus kota dan metromini, 1.119 mobil, 821 motor, 486 rambu lalu lintas, 11 taman, 18 pagar, 1.026 rumah penduduk dan gereja. Selain itu korban meninggal di DKI Jakarta mencapai 288 orang, dan 101 korban luka-luka.
Jumlah korban tewas di setiap wilayah berbeda-beda dengan kisaran mencapai lebih dari seribu jiwa. Sebagian besar hangus terpanggang di kebakaran kantor dan pusat perbelanjaan.
Munculnya kerusuhan dalam waktu serentak merupakaan sejarah baru dalam kerusuhan Indonesia. Pola ini menimbulkan dugaan adanya provokator yang terlibat secara terencana. Secara khusus, pada kerusuhan 13-15 Mei 1998, etnis Tionghoa menjadi sasaran perampokan, penjarahan, pemerkosaan, dan pembunuhan.
Data Tim Relawan Kemanusiaan dan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 menyebutkan 1.250 orang meninggal akibat kerusuhan Mei 1998. Selain itu, terdapat 152 perempuan menjadi korban kekerasan seksual di DKI Jakarta, Surakarta, Medan, Palembang, dan Surabaya.
Jadi kenapa saya mengambil teori ini dan pristiwa ini karna menurut saya cocok antara pristiwa dan teori tersebut
 Krisis Ekonomi dan Reformasi 1998: Krisis ekonomi dan kejatuhan rezim Orde Baru pada tahun 1998 di Indonesia dapat diinterpretasikan sebagai fase kemunduran dalam sejarah modern Indonesia. Namun, dari krisis tersebut muncul dorongan untuk reformasi politik dan ekonomi, menciptakan periode baru dalam sejarah Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H