Mohon tunggu...
Zainuddin El Zamid
Zainuddin El Zamid Mohon Tunggu... Dosen - Santri

Penulis amatiran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buang, Togi, dan Ali: Cerita dari Pinggir Sungai

26 April 2024   10:17 Diperbarui: 28 April 2024   07:34 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah pulau terpencil, Buang tumbuh mengenal suara ombak yang menggulung dan suara angin yang bisikkan kisah-kisah dari daratan jauh. Di tengah kesunyian yang hanya diisi suara alam, Buang sering mendengar panggilan untuk mencari ilmu lebih dalam. Itu yang membawanya meninggalkan pantai pasirnya yang hangat menuju pesantren di kota santri.Pesantren itu bukan hanya rumah bagi buku dan ilmu, tapi juga untuk karakter-karakter yang akan memperkaya perjalanan Buang. Di sana, Buang bertemu dengan Togi, seorang adik kelas yang ceria dan selalu penuh energi, serta Ali, yang dikenal karena jarang mandi dan aroma khas yang ia bawa kemana-mana.

Di tahun pertamanya, kehidupan Buang di pesantren penuh dengan tantangan. Dari menjadi bahan tertawaan karena logat pulau yang tebal, hingga beradaptasi dengan aturan pesantren yang ketat. Namun, ia menemukan tempat tenang di tepi sungai kecil, di mana ia bisa memancing dan merenung.

Suatu hari, ketika Buang sedang duduk di pinggir sungai dengan joran pancingnya, Togi datang menghampiri dengan langkah gembira. "Buang! Aku dengar kau jago memancing. Ajari aku dong!" serunya dengan mata berbinar.

Buang tersenyum dan mengangguk, "Tentu, Togi. Memancing itu seni. Kau harus sabar dan tahu kapan harus menarik benang pancing."

Sementara itu, Ali yang lewat dan mendengar percakapan itu hanya menggelengkan kepala. "Aku lebih suka tidur daripada membuang waktu menunggu ikan," keluhnya dengan nada malas.

Namun, di luar kebiasaan mandinya, Ali memiliki hati yang besar dan selalu siap membantu kawan-kawan sekelasnya, meskipun dengan cara yang unik dan seringkali mengundang tawa. "Ali, mungkin kau bisa belajar satu atau dua hal tentang kesabaran dari memancing," goda Buang suatu kali, sambil memberikan senyuman nakal.

"Wah, mungkin. Tapi kau harus mengajari aku bagaimana cara tidak terlalu cepat menyerah dulu!" balas Ali, yang meskipun malas mandi, tidak pernah malas untuk berseloroh.

Tahun-tahun berlalu, dan trio ini menjadi dikenal di pesantren tidak hanya karena karakter mereka yang unik tetapi juga karena kebersamaan mereka. Togi, dengan semangatnya yang tak pernah padam, sering mencerahkan hari-hari Buang dan Ali dengan canda tawanya. Ali, walaupun sering menjadi bahan candaan karena jarang mandi, dikenal akan kecerdasannya dalam memahami teks-teks agama dengan cepat, sering membantu Buang dalam menyiapkan ceramah.

Buang, dengan kesabarannya, perlahan menjadi seorang pembicara yang dihormati. Ia sering menggunakan analogi memancing untuk menjelaskan konsep-konsep dalam Islam, dan bagaimana pentingnya sabar dan tahu waktu yang tepat untuk bertindak. "Dalam memancing dan dalam kehidupan, kesabaran adalah kunci. Kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan secepat yang kita harapkan, tapi dengan kesabaran, kita akan mendapatkan yang terbaik pada waktunya," Buang sering berkata dalam ceramahnya.

Pada suatu acara besar di pesantren, di mana Buang diundang untuk berbicara di depan para ulama besar, Ali dan Togi duduk di barisan depan, menyaksikan sahabat mereka berbicara dengan penuh percaya diri. Togi, dengan mata berbinar menatap kagum pada Buang, dan Ali, yang untuk kesempatan istimewa itu, mengambil mandi ekstra, duduk dengan bangga menyaksikan Buang berbicara.

Togi adalah adik kelas yang ceria dengan mimpi besar untuk menjadi tentara. Energi dan semangatnya yang tak pernah padam seringkali menjadi sumber kekuatan bagi teman-temannya, termasuk Buang dan Ali. Togi sering berbagi tentang kekagumannya terhadap disiplin militer dan bagaimana ia bermimpi untuk melindungi dan melayani negara.

Ali, di sisi lain, meskipun dikenal karena kebiasaannya yang jarang mandi, memiliki kecerdasan yang tajam dan pemahaman mendalam tentang teks-teks agama, seringkali memberikan perspektif yang berbeda dalam diskusi mereka.

Seiring berjalannya waktu, ketiganya menjadi trio yang tak terpisahkan, masing-masing dengan keunikan mereka sendiri. Namun, suatu hari, suasana hati Togi berubah. Dalam salah satu sore yang biasanya diisi dengan tawa dan lelucon ringan, Togi terlihat gusar dan murung.

"Togi, ada apa denganmu? Kamu terlihat seperti ikan yang baru saja kehilangan air," canda Buang, mencoba meringankan suasana.

Togi menghela napas, matanya menatap kosong ke arah sungai tempat mereka sering memancing. "Aku... aku berpikir untuk keluar dari pesantren. Tetanggaku, Pak Darmo, menawariku pekerjaan di kapalnya. Mungkin itu jalan terbaik untukku, mendapatkan uang dan mungkin bisa lebih dekat untuk mencapai mimpiku menjadi tentara."

Buang, yang sedang mempersiapkan pancingannya, berhenti dan menatap Togi dengan serius. "Togi, kau serius? Kau akan meninggalkan semua yang telah kita pelajari bersama? Kau akan membuang semua mimpi dan usaha kita seperti membuang umpan yang buruk?"

Suasana menjadi tegang, Ali yang biasanya hanya tersenyum dan mendengarkan, kali ini turut serta. "Togi, kau tahu bukan, kadang kapal itu bisa tenggelam. Pesantren ini adalah kapal yang kuat, kita semua di dalamnya, bersama. Apakah kau yakin ingin melompat?"

Togi, yang terbiasa dengan semangat dan tawa, kini tampak berjuang dengan emosi. "Aku... aku tidak yakin, tapi rasanya ini kesempatan yang baik untukku."

Buang, yang biasanya penuh canda, kali ini berbicara dengan nada serius yang jarang terdengar. "Togi, kadang kita harus mengambil resiko, tapi jangan lupa, mimpi tentara itu bukan hanya tentang kekuatan dan keberanian, tapi juga tentang strategi dan kesabaran. Pendidikan kita di sini, itulah latihan mentalmu. Jangan buang peluru sebelum sasaran benar-benar jelas."

Togi menundukkan kepala, merenung. Kata-kata Buang terngiang dalam pikirannya, mengingatkan pada alasan mengapa ia memilih pesantren di awal. Malam itu, Togi memutuskan untuk tetap di pesantren, menyadari bahwa pendidikan agama yang ia terima adalah bagian dari fondasi yang kuat untuk menjadi tentara yang baik, bukan hanya di medan perang tetapi juga dalam kehidupan.

Hari-hari berikutnya, Togi kembali ke rutinitasnya dengan semangat baru, didukung penuh oleh Buang dan Ali. Ketiganya kembali ke pinggir sungai, tempat mereka banyak belajar satu sama lain---tentang sabar, tentang keberanian, dan tentang pentingnya membangun mimpi dengan fondasi yang kuat.

Buang, dengan cara yang hanya dia bisa, mengingatkan Togi bahwa di setiap joran, ada benang yang mengikat mereka: persahabatan, pendidikan, dan mimpi yang terus berkembang, seperti sungai yang tak pernah berhenti mengalir menuju lautan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun