Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Istri petani. Tukang ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Makna dan Filosofi di Balik Bervariasinya Seragam Sekolah Masa Kini

18 April 2024   14:06 Diperbarui: 20 April 2024   03:51 1208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seragam batik identitas dipakai saat menghadiri kegiatan luar sekolah | Foto: Avinta Damayanti

Orangtua di sini yang sudah saling akrab di sekolah anaknya punya kebiasaan melungsurkan seragam antar anak-anak. Ibu yang anaknya masih di kelas bawah kerap minta lungsuran seragam dari ibu yang anaknya sudah di kelas atas. Kadang-kadang lungsuran ini berlaku untuk semua baju bukan cuma seragam sekolah.

Kebiasaan ini dilakukan juga oleh para ibu bertetangga walau anak mereka berlainan sekolah. Meski seragam yang sama cuma seragam nasional dan Pramuka, mereka tetap saling memberi dan menerima lungsuran selama seragam itu belum lusuh atau sobek.

Cara ini selain menghemat biaya, juga berfaedah mengurangi sampah tekstil. Jadi tidak sia-sia sebetulnya variasi seragam yang dipakai para siswa di sekolah.

Mengubah Pola Konsumtif Orangtua

Bervariasinya seragam sekolah masa kini secara langsung juga memaksa orangtua mengubah pola konsumtifnya. Kalau dulu orangtua dengan ringannya mengambil cicilan baju, perabot dapur, elektronik, dan kendaraan, sekarang mulai mendahulukan seragam sekolah anak.

Ini karena seragam sekolah sudah jadi bagian dari kebutuhan primer buat anak. Sehari-harinya anak menghabiskan waktu di sekolah. Kalau orangtua si anak ekonominya mampu, tapi seragamnya kumal karena kita terlalu sayang mengeluarkan uang untuk seragam baru, lalu bagaimana perasaannya?

Anak lelaki saya masih kelas 6, tapi sudah diterima di SMPN 1. Sekolah ini belum membuka jadwal pengambilan seragam. Kabar dari orangtua yang anaknya diterima di SMPN 2 dan SMPN 3 mengatakan kalau mereka sudah merogoh kocek hampir Rp1,8 juta untuk membeli seragam. 

Biaya itu belum termasuk biaya jahit untuk batik identitas dan baju adat. Di SMPN 1 mungkin lebih mahal karena sekolah itu punya jaket almamater. Melihat biaya seragam yang lumayan besar, banyak orangtua yang mau tidak mau harus menunda memenuhi kebutuhan lainnya.

Beberapa hal  yang mesti kita ingat, membeli seragam sebetulnya tidak bikin dompet jebol karena baju itu dipakai tiap pekan selama bertahun-tahun sampai tidak muat lagi oleh tubuhnya atau sobek atau lusuh. Jadi very worth buying dibanding daster, gamis, dan kerudung yang kita beli, kalau boleh jujur.

Ilmu yang didapat anak di sekolah akan jadi bekal masa depannya. Sedangkan yang kita dapat dari baju untuk diri sendiri lebih kepada manfaat fashion dan pemuasan batin semata.

Pun rela mengeluarkan uang banyak untuk kebutuhan pendidikan anak juga sebetulnya membuktikan rasa sayang kita padanya. Bukankah kita ingin anak nyaman memakai seragam yang layak, buku tulis yang bagus, sepatu yang bersih, dan alat tulis yang memadai?

Lebih jauh lagi, bervariasinya seragam sekolah masa kini nyatanya dapat membuat orangtua mengubah pola pikirnya terhadap keberadaan sekolah dan segala keperluannya. Jangan berharap anak maksimal menyerap ilmu kalau terus berharap sekolah bisa gratis tis tis seratus persen.

Buat anak, kok, itung-itungan?!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun