Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Istri petani. Tukang ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Siap Tak Siap Mesti 5G

27 November 2020   15:09 Diperbarui: 27 November 2020   20:45 3733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Base station 5G milik Tiongkok di Gunung Everest berada di ketinggian 6500 mdpl. Foto: huawei.com

Negara kita sedang mempersiapkan jaringan 5G dengan membuka lelang frekuensi 2,3 GHz yang dimulai pada 20 November 2020 lalu dan telah ditawarkan pada operator seluler.

Mengapa Indonesia butuh 5G disaat jaringan 3G saja lemotnya minta ampun dan harus naik pohon untuk dapat sinyal?

Untuk saat ini memang belum butuh, buat apalah internet kencang kalau beli kuotanya kembang-kempis. Hemm~.

Belum perlunya kita menggunakan 5G mungkin mirip seperti Malaysia yang menunda peluncuran 5G dari rencana awal pada kuartal ketiga 2020 ke akhir tahun 2022.

Saya kutip dari nikkei.com, Malaysia ingin lebih dulu fokus pada pemerataan jaringan 4G di negaranya. Setelah semua pedesaan terjangkau oleh internet cepat 4G baru mereka akan meluncurkan 5G dan sepenuhnya mematikan 2G dan 3G.

Tapi Malaysia itu MENUNDA. Artinya regulasi dan infrastruktur mereka sudah siap, tinggal jalan saja. Sedangkan Indonesia BARU MULAI, yang berarti semuanya masih dalam persiapan.

Bukan hanya dari Malaysia, negeri Pancasila ini juga kalah cepat dari Filipina. 

Filipina adalah negara pertama di ASEAN yang mengkomersialkan jaringan 5G pada 2019 tetapi hanya khusus untuk layanan broadband di rumah dan kantor. Layanan seluler 5G sampai saat ini di Filipina baru menjangkau 17 kota. Tujuh belas kota sebenarnya sudah bagus, ya.

Sedangkan negara ASEAN yang benar-benar pertama kali meluncurkan 5G secara keseluruhan adalah Thailand, pada Mei 2020 lalu.

Bagaimana dengan Singapura? Negeri berlambang singa itu sudah menggunakan 5G tapi masih untuk kalangan terbatas. 

Ketertinggalan Singapura ini agak mengejutkan karena negara ini, beberapa tahun lalu, diprediksi sebagai negara pertama di ASEAN yang bakal mengedarkan 5G untuk warga negaranya.

Lalu di urutan terakhir negara ASEAN yang sudah mengadopsi teknologi seluler 5G adalah Vietnam meski masih terbatas hanya untuk kepentingan militer saja.

Dengan demikian meski kita katakan Indonesia belum butuh 5G, pada akhirnya negara ini akan membutuhkannya juga. Sebagai negara ke-3 yang meluncurkan satelit komunikasi di dunia, lelang frekuensi 2,3 GHz tahun ini terlambat.

Keterlambatan Indonesia dibanding negara-negara ASEAN, pendapat saya, barangkali karena hal ini:

1. Birokrasi yang panjang dan lama. Untuk memutuskan hal-hal yang terkait dengan perubahan zaman perlu payung hukum. 

Payung ini kadang bolong-bolong dan perlu ditambal. Untuk menambalnya butuh waktu lama karena melibatkan politisi dan kepentingan sekelompok orang yang mencari fulus dibidang itu.

2. Frekuensi terbatas karena masih dipakai untuk siaran televisi analog. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya (disini), siaran analog boros frekuensi. Satu frekuensi yang pada siaran digital bisa diisi hingga 12 televisi, pada analog hanya bisa satu televisi saja.

3. Operator selular masih berhitung karena membangun infrastruktur untuk 5G berarti keluar duit lagi. Di sebagian pulau Jawa saja orang masih banyak yang menggunakan jaringan 3G karena 4G tidak ada sinyal.

Ponsel 3G bahkan masih dipakai 46% penduduk dunia. Hasil riset yang dilakukan Strategy Analytics yang rilis pada Juni 2020 lalu menemukan bahwa 46% dari total 7,7 miliar penduduk dunia pada masih menggunakan jaringan 2G dan 3G, terutama di negara-negara Afrika.

Kalau Afrika tentu bisa dimaklumi, perekonomian disana pun tak secepat Asia. Apalagi dari Korea Selatan. 

Negeri ginseng tempat tinggal Bangtan Boys dan Blackpink itu tercatat sebagai negara pertama di dunia yang memakai teknologi 5G. Menyusul dibelakangnya Tiongkok dan Amerika Serikat.

Walaupun 5G tersedia di Tiongkok namun negara itu masih memberlakukan sensor ketat terhadap akses internet.

Belum lagi semua negara menikmati akses 5G, Tiongkok sudah meluncurkan lagi satelitnya ke orbit pada awal November 2020 lalu untuk menguji sinyal 6G!

Ada kabar burung soal 5G.

Radiasi yang ditimbulkan oleh teknologi komunikasi generasi kelima ini bisa memicu penyebaran virus Corona karena virus ini berkembang biak lebih cepat jika kena radiasi 5G.

Ada juga kekhawatiran gelombang radio dari 5G dapat melemahkan sistem imun dan memicu kanker.

Tapi ternyata penelitian yang dilakukan ahli di Oregon State University tidak menemukan bukti bahwa radiasi 5G memiliki efek buruk bagi kesehatan.

Kalau melemahkan sistem imun mungkin saja karena pengguna terlalu asyik memakai ponsel atau komputernya sehingga lupa makan, minum, dan tidur, lalu jatuh sakit.

Melesatnya kecepatan internet yang ada pada 5G bisa membuat pengguna memanfaatkannya untuk mengendalikan kendaraan dan peralatan elektronik yang terhubung ke internet.

Besarnya unduhan data yang bisa dicapai oleh 5G juga lebih cepat. Karena itulah amat mungkin 5G memicu masalah kesehatan jika penggunanya lupa waktu dalam memakai internet.

Apa yang nanti dilakukan orang-orang Indonesia jika sudah mengadopsi 5G yang diprediksi hadir pada 2023?

Transaksi nontunai mungkin akan makin mendominasi di kota-kota besar. Para pemilik warung sembako di perumahan bisa saja menerima Ovo, Gopay, Dana, dan Shopeepay untuk pembayaran dagangan mereka ketimbang repot mencari uang kembalian.

Penipuan dan kejahatan siber mungkin makin marak karena internet yang cepat membuat para penjahat makin cepat pula beraksi.

Makin banyak atlet-atlet esport bermunculan karena 5G akan mendukung aksi mereka main game secara real time.

Bermunculan inovasi baru di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang berhubungan dengan internet.

Tetapi, semua itu hanya prediksi saya pribadi, bukan kesimpulan yang didapat dari webinar bersama para pakar IT.

Saya ingat dahulu Pak Tifatul Sembiring, sewaktu menjabat Menkominfo, pernah menanyakan kepada netizen di Twitter digunakan untuk apa jika punya internet yang cepat.

Sayang, pada Januari 2014 saya belum bergabung dengan Kompasiana. Kalau sudah tentu saya akan jawab, "Buat nulis di Kompasiana lalu keliling membaca artikel para Kompasianer."

Tanpa internet yang cepat mana mungkin kita betah keliling memberi vote dan komentar di artikel orang lain. Belum juga keliling sudah kena darting* menunggu sinyal loading dan loading.

*Darting=darah tinggi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun