Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Istri petani. Tukang ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Membandingkan Penghasilan Menjadi Ghostwriter dengan Menulis Buku Sendiri

21 Mei 2020   11:43 Diperbarui: 21 Mei 2020   19:07 2084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Fortune.com/SEBASTIEN THIBAULT)

Berapa royalti yang kita dapatkan dari penerbit untuk buku yang kita tulis? Jika naskah dijual-putus uang yang bisa didapat seorang penulis berkisar antara Rp 1,5 juta sampai Rp 10 juta. 

Jika memakai sistem royalti, penulis debutan biasanya dapat 5 persen dari harga buku. Jika si penulis menganggap naskahnya sangat bagus dan dia jago bernegosiasi bisa saja dapat 10 persen, tapi itu amat langka karena penulis kawakan ternama saja dapat royalti tak lebih dari 15 persen. Royalti yang diterima penulis dari penerbit juga harus dipotong pajak.

Penulis yang baru debut umumnya "tidak diperkenankan" menulis lebih dari 200 halaman A4 untuk menghindari kerugian besar akibat biaya cetak yang tinggi jika buku tidak laku. Banyak juga penulis/novelis yang menerbitkan buku secara self-publishing karena ingin bebas menentukan macam-macamnya sendiri.

Karena itu jika ingin kaya dari menulis buku, maka kita harus menulis setidaknya belasan buku pertahun atau menghasilkan karya yang meledak di pasaran, syukur-syukur diangkat jadi film atau sinetron, bisa tambah gendut rekening kita.

Namun sangat sulit bagi penulis menghasilkan belasan buku hanya dalam setahun. Membuat novel saja memerlukan riset pustaka (dan data) dan jika perlu harus mewawancarai atau mengobservasi orang, dan itu makan waktu.

Mari kita tengok penghasilan ghostwriter (penulis bayangan), tentang ghostwriter bisa dibaca di sini karena ghostwriter bukanlah penulis genre hantu atau horor.

Karena saya belum mengetahui apakah ada wadah khusus bagi para ghostwriter profesional berbagi info soal pendapatan, maka saya tuturkan berdasarkan pengalaman pribadi.

Pada 2006 saya menulis untuk seorang veteran yang ingin menulis buku pengalaman beliau sebagai pejuang untuk kenang-kenangan bagi para anak, cucu, dan koleganya. Saya bantu beliau menulis dan saya dapat bayaran Rp 2 juta untuk menulis sebanyak 150 halaman A4. Sedikit ya? Iya, sih, Kompasiana saja pernah memberi K-Reward sampai Rp 4 juta.

Beliau memberikan buku hariannya kepada saya, lalu saya rapikan menjadi naskah buku. Setelah selesai ternyata beliau ingin juga saya bantu terbitkan, maka kami masukkan ke penerbit indie karena hanya akan dicetak sebanyak 250 eksemplar. Dan untuk itu saya dapat tambahan Rp2jt dari beliau.

Kemudian saya menulis buku non-fiksi tentang sepak bola sesuai permintaan dari seorang asisten pelatih timnas junior waktu itu. Naskah itu kemudian terbit di penerbit yang tergabung dalam Kompas Gramedia Grup. Saya dapat bayaran Rp 4,9 juta dari asisten pelatih tersebut. Nanggung yah kenapa gak 5 juta sekalian. Itu juga sudah hasil dari nego keras, heuheuheu!

Lalu ada permintaan membuat novel dari seorang ibu. Karena si ibu hanya punya ide dan imajinasi tanpa naskah mentah apapun, maka kali ini saya dibayar Rp 6,3 juta.

Saya benar-benar harus menulis dari nol seperti membuat novel saya sendiri. Setahun kemudian ketika bukunya sudah diterbitkan penerbit mayor, ibu itu memberi "tanda terima kasih" Rp 2 juta untuk saya.

Selain bekerja sendiri secara lepas, ghostwriter juga ada yang menulis untuk penerbit. Namanya penerbit sudah pasti harus berkesinambungan menerbitkan buku.

Jika stok naskah kiriman dari para penulis dianggap kurang, maka penerbit menggunakan jasa ghostwriter untuk menulis genre tertentu. Buku karya ghostwriter itu akan diterbitkan memakai nama penulis yang sudah populer.

Ya, nama ghostwriter memang tidak akan tercantum dalam buku. Nama yang tercantum adalah nama orang yang menyewa jasa ghostwriter tersebut.

Ada semacam kode etik untuk ghostwriter. Mereka dilarang mengungkap siapa saja yang pernah memakai jasa mereka dan tidak boleh mengungkap judul-judul buku yang telah lahir dari tangan mereka. Yah, namanya juga penulis bayangan.

Soal penghasilan, bayaran ghostwriter memang (sedikit) lebih besar daripada jika kita menulis buku sendiri lalu menunggu royalti. Royalti datang 6 bulan sekali dan dipotong pajak dua kali karena dianggap pendapatan pasif. Honor ghostwriter dipotong pajak hanya ketika kita melapor di SPT.

Lain halnya jika kita penulis best-seller. Penulis best-seller sudah pasti punya penghasilan besar dan buku terbarunya selalu ditunggu penerbit.

Ada ghostwriter yang mematok Rp 20 juta-40 juta untuk sebuah buku, tapi itu karena mereka membentuk tim yang terdiri dari penulis, editor, dan layouter, dan jaminan buku pasti diterbitkan oleh penerbit mayor.

Jika mencari kepuasan batin, menulis buku dengan nama sendiri tentu lebih dicari. Ada rasa haru dan bangga bahwa kita telah menciptakan sebuah karya yang orang lain belum tentu bisa. Dan kita pun termotivasi untuk menulis lebih banyak buku lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun