Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pohon adalah Penanda Kehidupan dan Perekam Sejarah yang Setia

21 November 2020   23:23 Diperbarui: 25 November 2020   12:32 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beringin Sukarno, Berastagi, 2020 (Dokpri)

Memperingati hari pohon sedunia, pada tanggal 21 November setiap tahunnya, maka pada tahun ini saya kembali terkenang kepada catatan pada 10 tahun yang lalu. Saat itu saya bertugas sebagai lurah di Kelurahan Padang Mas Kecamatan Kabanjahe.

Kenangan ini juga dipicu oleh pertanyaan salah seorang rekan kompasianer, Indra Rahadian, dalam sebuah artikelnya yang berjudul "Kapan Terakhir Kali Kamu Menanam Pohon?". Ya, saya terakhir kali menanam pohon, dalam artian pohon kayu dan dalam jumlah yang banyak, sekitar 10 tahun yang lalu. Akhir-akhir ini, saya hanya menanam bunga.

Kegiatan menanam pohon pada tahun 2010 itu, dilatarbelakangi oleh paparan catatan dari Tim Penilai Adipura Tahun 2009, yang mengatakan bahwa untuk kota Kabanjahe, khususnya di wilayah bantaran sungai Lau Dah, yang merupakan batas alami yang memisahkan Kelurahan Padang Mas Kecamatan Kabanjahe dan Desa Bunuraya Kecamatan Tigapanah, perlu dilakukan penanaman dan penambahan pohon pelindung.

Salah satu sisi pemandangan bantaran sungai Lau Dah, 2010 (Dokpri)
Salah satu sisi pemandangan bantaran sungai Lau Dah, 2010 (Dokpri)
Sejalan dengan hal itu, memang sudah menjadi kesepakatan kami dengan 10 kepala lingkungan di kelurahan ini untuk melaksanakan kegiatan penanaman pohon, sebagai salah satu program kegiatan kelurahan dalam rangka mendukung pelestarian lingkungan pada tahun 2010 itu. Saya pun membuat surat permohonan bibit pohon peneduh yang ditujukan kepada Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Karo, pada masa itu.

Puji Tuhan, dari 600 bibit pohon yang kami mohonkan, terdiri atas pohon kayu jenis suren, mahoni dan nangka, dikabulkanlah sejumlah 450 jenis bibit kayu sesuai ketersediaan yang ada pada Dinas Kehutanan Kabupaten Karo. Bantuan bibit pohon itu kami terima pada 22 Januari 2010, terdiri atas mangga 75 batang, mahoni 200 batang, meranti 150 batang, dan durian 25 batang.

Jenis bantuan ini walaupun lebih sedikit dari permintaan, tapi justru makin baik. Sebab kayu dari jenis buah-buahan, selain sebagai peneduh bisa sekaligus bermanfaat bagi penduduk di sekitar bantaran sungai. Demikian pikiran saya pada waktu itu.

Pada Minggu, 24 Januari 2010, mulailah kami menanam kayu-kayu itu. Penanaman dilaksanakan bersama dengan kepala lingkungan dan masyarakat pada daerah sekitar bantaran sungai Lau Dah. Ditanam sebanyak 174 batang.

Selanjutnya, pada Jumat, 29 Januari 2010, sambil melaksanakan kegiatan jumat bersih dengan 10 kepala lingkungan di kelurahan, kami menanam sekitar 100 batang kayu mahoni di sekitar bantaran sungai dan sepanjang jalan lingkar Karo Indah, nama lingkungannya.

Menanam kayu bersama kepala lingkungan, 29/01/2010 (Dokpri)
Menanam kayu bersama kepala lingkungan, 29/01/2010 (Dokpri)
Menanam kayu di bantaran sungai Lau Dah, 24/01/2010 (Dokpri)
Menanam kayu di bantaran sungai Lau Dah, 24/01/2010 (Dokpri)
Sebagai makhluk hidup, kayu yang ditanam mungkin tidak akan tumbuh dengan sendirinya tanpa perawatan. Apalagi yang berhubungan dengan kepentingan umum.

Semakin umum tujuan sesuatu, biasanya semakin susah mewujudkannya. Sebab terkadang semakin sedikit yang bertanggung jawab untuk sesuatu yang umum, baik yang diwajibkan atau dianjurkan, kecuali niat yang datangnya dari sikap suka rela.

Maka tak jarang saya mengajak beberapa kepala lingkungan sesekali melihat-lihat pohon yang kami tanam, sambil menyirami bibit pohon yang masih kecil itu dengan harapan ia akan tumbuh subur dan bermanfaat bagi masyarakat.

Tidak sedikit kami temukan bibit pohon yang mati, hingga harus disisip (diganti), sebab bibit pohon yang masih kecil kalah bersaing dengan gulma yang tumbuh subur. Bahkan ada juga bibit pohon yang hilang. Apalagi tanaman itu ditanam di tempat umum, seperti di pinggir jalan dan bantaran sungai.

Menyiram bibit pohon mahoni bersama kepala lingkungan (Dokpri)
Menyiram bibit pohon mahoni bersama kepala lingkungan (Dokpri)
Membuat pagar pelindung bibit mahoni, 11/06/2010 (Dokpri)
Membuat pagar pelindung bibit mahoni, 11/06/2010 (Dokpri)
Menanam pohon bersama kepling, 11/06/2010 (Dokpri)
Menanam pohon bersama kepling, 11/06/2010 (Dokpri)
Selang waktu berganti, singkat cerita saya pun pindah tugas ke Dinas Kebersihan Kabupaten Karo pada tanggal 9 Januari 2012. Saya jadi hampir tidak pernah lagi melihat dan merawat bibit-bibit pohon itu. Kalau datang mengajak para kepala lingkungan untuk menyiraminya, tentu saja saya sungkan, takut dianggap post power syndrome. Hehe.  

Namun, sekali waktu pada 1 September 2014, saya melewati jalan lingkar Karo Indah itu, saat hendak pergi ke ladang. Senang rasanya, beberapa bibit pohon mahoni yang kami tanam dulu telah tumbuh setinggi tiang telefon.

Menyaksikan belasan batang pohon mahoni yang tumbuh di sepanjang jalan itu, segala rekaman kenangan yang pernah saya jalani selama mengabdi di kelurahan ini bersama para kepala lingkungan kembali muncul dalam kilasan memori. Memang saya belum sempat lagi menjelajahi sepanjang bantaran sungai yang dulu kami tanami.

Pohon mahoni setelah 4 tahun, 01/09/2014 (Dokpri)
Pohon mahoni setelah 4 tahun, 01/09/2014 (Dokpri)
Di samping itu, sedih juga saya mengingatnya. Beberapa rekan saya dulu, kepala lingkungan, bahkan ada yang sudah lebih dahulu pergi meninggalkan dunia. Tidak sempat melihat pohon-pohon yang dulu kami tanam bersama.

Seiring perkembangan waktu, pohon-pohon itu mungkin ada yang perlu dipangkas atau bahkan ditebang bila sudah terasa mengganggu perkembangan pembangunan dan kebutuhan masyarakat yang berkembang sesuai zamannya.

Lewat tulisan sederhana ini juga, pasti saya menyelipkan sedikit pesan, seandainya dibaca oleh pihak yang berkepentingan, atau ada kasus yang serupa di tempat lain, seandainya pun harus ditebang pada suatu saat tolonglah tanam penggantinya di tempat lain yang lebih sesuai dengan kondisi saat ini. 

Sebab, jarang sekali, bahkan belum pernah saya mendengar, ada pohon yang dipindahkan karena dianggap mengganggu pembangunan. Biasanya ditebang saja.

Saya teringat juga ceramah guru Cai Li Xu selama 5 hari di kota Hang Zhou, yang dituliskan di buku Di Zi Gui. Katanya, "Membina cinta kasih antar sesama manusia dimulai dari setiap rumah tangga. Lebih kecil lagi dimulai dari hubungan kakak-adik yang rukun dan harmonis. Sebab kakak adik lahir dari ayah dan ibu yang sama, maka sangat mungkin mereka akan menemani kita paling lama dalam menjalani hidup kita".

Maka, penting juga menjadikan rasa cinta akan pohon dan semangat menanam pohon ditanamkan sejak anak-anak. Barangkali, bisa dijadikan tema peringatan hari anak nasional pada masa-masa mendatang, atau menjadi kegiatan tahunan bagi anak-anak di segala tempat dan zaman setiap kali memperingati hari anak nasional.

Dalam prinsip yang sama, bagi saya pohon adalah sesama kita dalam kehidupan, sangat mungkin bahwa pohon-pohonlah yang akan memberikan kita kehidupan. Bila pernyataan ini dianggap terlalu berlebihan, setidaknya pohon-pohon sangat mungkin akan menemani kita paling lama dalam menjalani hidup kita.

Sebab, kenyataan telah membuktikan, bila pohon tidak ditebang tanpa alasan, seringkali manusia yang pergi lebih dahulu meninggalkan dunia, dibandingkan pohon-pohon yang tetap bertahan melintasi zaman, hingga ratusan tahun.

Begitu juga dengan tanaman lain, yang dimaksudkan untuk kepentingan umum. Sudah seharusnya orang-orang umum ikut merawatnya. Kecuali karena alasan sudah mengganggu kepentingan umum, seringkali pohon dan tanaman lainnya di tempat-tempat umum malah dihabisi tanpa keterangan dan alasan yang jelas. Tidak jarang, ada saja ada orang yang tak bisa menahan dirinya untuk tidak merusaknya secara tak karu-karuan.

Bila ia dibiarkan hidup, lihat saja jenis pohon kayu cemara Norfolk yang sudah sangat tua di bawah ini. Setahu saya cemara jenis ini hanya tinggal satu batang di kota ini. 

Berdasarkan info yang saya terima, pohon ini sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang, setidaknya itu sudah lebih tua dari kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah 75 tahun lebih 3 bulan.

Cemara Norfolk, GBKP Asrama Kodim Kabanjahe (Dokpri)
Cemara Norfolk, GBKP Asrama Kodim Kabanjahe (Dokpri)
Kini pohon tampak sudah miring dan suatu waktu mungkin akan roboh. Pohon jenis pinus atau cemara yang langka ini, berlokasi di samping gedung Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Asrama Kodim, Kabanjahe, Sumatera Utara.

Salah seorang rekan di fanpage facebook Bangunan Kolonial Kota-kota Indonesia, mengatakan bahwa walaupun langka di Tanah Karo, cemara Norfolk sangat mudah ditemukan di Bandung, jadi penghias di taman taman kota seperti salah satu sudut di daerah Dago Bandung ini.

Cemara Norfolk, Dago-Bandung (Foto: Nur Ihsan)
Cemara Norfolk, Dago-Bandung (Foto: Nur Ihsan)
Selain sebagai tanaman peneduh dan penghias taman kota seperti masa kini, pada masa dahulu kala, keberadaan pohon pun sudah begitu penting bagi nenek moyang suku Karo. 

Pohon beringin raksasa yang disebut "Jabi-jabi", seperti yang terdapat di desa Lau Pakam, Kecamatan Mardingding, dekat perbatasan Kabupaten Karo, Sumatera Utara dengan Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh ini, seringkali dipakai sebagai tempat untuk melaksanakan musyawarah (runggu, dalam bahasa Karo) untuk menyelesaikan suatu permasalahan, sidang adat, atau sekadar ramah-tamah.

Ada lagi sebuah pohon beringin yang tumbuh di pekarangan rumah pengasingan Presiden Indonesia pertama, Ir. Sukarno, di Berastagi. Beringin itu diberi nama "Beringin Sukarno", yang menurut pak Sahat, pengelola rumah, sudah berumur 150 tahun.

Konon pohon seperti ini hanya ada di 2 tempat, satu yang di Berastagi ini, dan yang satunya lagi ada di Belanda. Uniknya, pohonnya seperti pohon beringin pada umumnya, tapi daunnya mirip daun pohon cemara.

Beringin (dokpri)
Beringin (dokpri)
Beringin Sukarno, di rumah pengasingan Presiden Sukarno, Berastagi (Dokpri)
Beringin Sukarno, di rumah pengasingan Presiden Sukarno, Berastagi (Dokpri)
Begitupun sebuah kesaksian reportase dari tahun 1938 pada Koran Sin Po, yang memuat artikel berjudul "Dari Sumatra Barat ka Sumatra Timoer" (Sumatera Utara saat ini). Koran Sin Po adalah koran Tionghoa-Melayu yang berbahasa Melayu dan terbit di Hindia Belanda sejak tahun 1 Oktober 1910.

Pada artikel ini narasumber berita menyampaikan bahwa mereka sampai di Tanah Karo, yakni di Kabanjahe dan Berastagi. Di Berastagi banyak dijumpai tempat menginap, antara lain Grand Hotel Brastagi adalah yang paling jempolan.

Bukan saja bagi Sumatera, tapi bagi seluruh Indonesia, Grand Hotel Brastagi adalah salah satu hotel yang paling rapi dan baik perawatannya, bahkan lebih rapi dari hotel De Boer di Medan yang sering dipandang paling tersohor pada masa itu.

Lagi katanya, pekarangan hotel ini banyak ditumbuhi pohon-pohon cemara, sebuah ciri khas yang masih dijumpai pada banyak tempat di Berastagi hingga kini. Berastagi katanya lagi mirip dengan Kaliurang di Yogyakarta, tapi lebih ramai dan penuh dengan villa -villa dari kongsi-kongsi (perusahaan-perusahaan) besar untuk berlibur.

Dari kilasan memori kenangan masa lalu dalam batang-batang pohon itu, saya menarik kesimpulan bahwa Pohon dari jenis apapun itu, adalah penanda kehidupan dan bermanfaat sebagai perekam catatan sejarah yang setia. Ia setia sebab ia tidak memilih untuk menyaksikan kejadian apa yang perlu dan takperlu untuk disaksikan, dan tidak memihak kepada siapa ia akan menyaksikannya.

Singkatnya, pohon memberikan manfaat baik kepada orang yang jahat maupun orang yang baik. Bahkan, sekalipun bagi penebangnya.

Pohon adalah saksi hidup dan sejarah. Semoga tidak ditebang sembarangan. Bila perlu, sebatang pohon yang kita tanam beri pagar dan penyangga di sekelilingnya, mana tahu ia akan miring dan makin rapuh suatu saat ketika ia menua.

Bagaimanapun, pohon juga akan selalu beradaptasi dengan lingkungan (cuaca), entahlah dengan sikap dan cara pandang manusia terhadapnya. Sebab, belum ada liputan bahwa pohon akan mampu beradaptasi menjadi seperti Groot dalam Guardians of the Galaxy.

Kini, takada lahan dan tak punya kewenangan lebih untuk menanam pohon besar, jadi saya hanya menanam markisa. Sebab bagi kami, piknik berarti makan di ladang. Tak ada ladang cukuplah makan di bawah pohon markisa, berbagi tempat dengan bunga, tanaman, laba-laba dan serangga. Selamat hari pohon sedunia, 21 November 2020, sehari setelah hari anak nasional.

Piknik di bawah pohon markisa (Dokpri)
Piknik di bawah pohon markisa (Dokpri)
Referensi: 1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun