Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Mau "Kehilangan" Uang 400 Juta? Jangan Tiru Saya!

10 Agustus 2020   14:18 Diperbarui: 11 Agustus 2020   21:56 10139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perumahan. (Sumber foto ilustrasi: Kompas Properti)

Saat itu, tahun 2013, setelah "kelelahan" berpindah-pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain, saya akhirnya memilih Jakarta sebagai kota terakhir dari perjalanan (karir) saya. 

Sebelumnya, saya sudah berpindah-pindah tempat bekerja sampai 15 kali, mulai dari perusahaan sangat-sangat kecil yang serupa CV yang jumlah karyawannya hanya 4 orang sampai perusahaan global multinasional yang kantornya ada di lebih dari seratus negara (setidaknya, saya menghitung dari laman resminya).

Beberapa hari sebelum saya tiba di Jakarta, saya mendadak kebingungan menjawab pertanyaan di kepala saya: akan tinggal di mana di kota eksklusif ini? Ada beberapa opsi yang sempat saya pikirkan waktu itu; membeli rumah, membeli apartemen, atau nge-kos?

Rumah? Ah, tidak. Itu jawaban paling cepat atas pertanyaan di atas. Rumah, bagi saya, itu terlalu besar. Saya hanya tinggal sendirian, tidak membawa istri dan anak-anak. Yang kedua, mana ada cerita perumahan 'murah' di Jakarta? Jawabannya jelas: tidak ada!

Pilihan kedua: apartemen. Ini opsi lebih memungkinkan daripada perumahan. Ada beberapa apartemen yang berlokasi sangat dekat dengan alamat kantor saya; Mega Kuningan. 

Bahkan, ada apartemen yang hanya perlu 5 menit saja dengan jalan kaki saja dari lobby apartemen ke lobi kantor saya. Tetapi, alamak, harganya sangat mahal. Satu milyar koma sekian - hampir 2 milyar.

Ada (sebenarnya) apartemen yang harganya lebih ramah. Lokasinya di belakang komplek World Trade Centre 2 Jakarta. Harganya sekitar 800 juta untuk tipe studio. Tetapi, saya ternyata masih harus mencari tempat parkir untuk kendaraan saya karena parkir apartemen sudah penuh oleh mobil-mobil penyewa yang sebelumnya. Leave it..

Dan, setelah menghitung dan menimbang banyak pertimbangan, pilihan akhirnya jatuh ke opsi kos atau kostel (kos n hotel) dengan harga sewa 4,5 juta sebulan. 

Mengapa saya memilih kostel, padahal (kan) ada banyak pilihan kos yang harganya sangat ramah, misalnya hanya 2,5 juta rupiah sebuan? Jawabannya; karena saya membawa mobil (yang sebenarnya nyaris tak pernah saya pakai). 

Ada banyak sekali kosan cukup bagus (ber-AC, kamar mandi dalam, dan ber-wifi), tetapi sayang mereka tidak memiliki halaman luas. Atau, jika memiliki, kadang-kadang lokasi kos-nya ada di gang sempit yang tak bisa dilalui mobil.

Maka, pilihan kostel yang seharga 4,5 juta sebulan itulah opsi paling mungkin dan masuk akal. Tahun itu.

Masa terus berganti. Hari dengan cepat berganti bulan dan tahun. Dan, singkat cerita, saya tiba-tiba sudah 7 tahun lebih tinggal di Jakarta. Pernah beberapa kali saya berpindah-pindah kos, tetapi, harganya tak jauh-jauh dari angka 4,5 juta sebulan.

Dan, ya, rasa "sesal" itu tiba-tiba datang begitu saja beberapa bulan yang lalu, setelah 7 tahun lebih saya menyewa kos di Jakarta. 

Rasa menyesal itu datang setelah saya menghitung-hitung semua pengeluaran selama saya tinggal di kostel dan ketemulah angka 400 juta (12 x 4,5 x 7,8 = 421,2 juta).

Saya adalah termasuk pekerja yang bukan tipe pekerja 'disiplin'. Pekerja 'disiplin' adalah pekerja yang (maaf) disiplin datang tepat jam 8 pagi dan pulang tepat jam 5 sore. 

Setumpuk aktifitas dan lain-lain, harus memaksa saya terus sibuk dan saya baru bisa (biasanya) pulang ke kosan pada jam 10 malam. Setiap hari seperti itu. Tidak Senin, tidak Sabtu/Minggu.

Dan, itulah yang membuat saya merasa sangat 'menyesal'. Mengapa hanya untuk urusan tidur saja saya harus membuang uang 400 juta lebih? Mengapa saya dulu tak memaksa membeli apartemen atau rumah dan menggunakan bis atau kereta untuk pergi berangkat bekerja?

Saat itu, tahun 2014, seorang sahabat dekat pernah mengajak saya untuk membeli rumah di Depok. Uang mukanya juga tidak seberapa besar. Kini, setelah 7 tahun lebih, saya pun kaget ketika ia berkirim kabar melalui aplikasi pertukaran pesan. "Harga rumah yang 7 tahun lalu saya beli sekarang sudah mencapai 750-an juta, pak, " katanya. Luar biasa.

Usai membaca pesan itu, saya semakin melongo kaget. Saya merasa bukan saja 'kehilangan' 400 juta, tetapi bahkan 750 juta!

Apa pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman saya?

--

Apa yang akan saya lakukan setelah ini?

Saya akan melihat apakah saya masih akan lama dipercaya CEO perusahan menjadi head departement di perusahaan tempat saya bekerja (sekarang) dan apakah Jakarta masih menjadi tempat paling baik saya meletakkan semua mimpi saya. 

Jika jawabannya iya, mungkin awal tahun depan, saya sudah harus membeli apartemen atau rumah dan saya harus memaksa mulai menggunakan bis atau kereta.

Apakah keputusan saya terlambat? Itu pasti, sebab itu seharusnya sudah saya lakukan pada 2013. Tetapi, bisa juga tidak benar-benar terlambat, sebab 7 tahun lagi saya (mungkin) tidak jadi kehilangan uang 1 milyar!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun