Mohon tunggu...
Sandi Novan Wijaya
Sandi Novan Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Calon Diplomat

Sampaikanlah walau satu ayat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Kebebasan

29 Maret 2024   03:31 Diperbarui: 29 Maret 2024   03:39 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Mali Maeder/pexels.com)

"Kalau kamu malu dengan para penagih itu, jual saja rumah ini. Kita mulai hidup dari nol lagi. Gampang, 'kan?"

Aku hanya bisa menangis karena rumah itu pun bukan sepenuhnya milik kami. Kami masih mencicil. Setiap kali datang orang untuk menagih utang suamiku, pada saat itu juga aku merasa ada suatu benda yang begitu besar menghantam kepalaku keras-keras, dan dadaku tercabik-cabik tanpa ada yang sudi membalut luka-lukanya.

Lingkungan keluarga yang semestinya bisa menjadi tempatku mencurahkan semua yang kualami bersama suami, pun keadaanya tak lebih baik. Kakak laki-lakiku yang pengangguran sudah beberapa kali terlibat kasus hukum.

Pencurian, mabuk-mabukan, kekerasan, dan perbuatan laknat lainnya sama sekali tak mencerminkan seorang yang layak untuk aku jadikan panutan. Malahan, demi menjaga perasaan Ayahku yang sudah sakit-sakitan, minggu yang lalu aku harus berkorban materi demi kebebasan kakakku itu dari bui. 

Tak cukup sampai di situ, penderitaanku terus merembet sampai di lingkungan tempat kerjaku. Di tempat yang telah kukorbankan semua cinta, gairah hidup, dan segenap kemampuan yang kupunya, tak jarang aku mendapat perlakuan yang tak pantas.

Sebagai pengajar di salah satu sekolah swasta, aku tak mampu berbuat banyak manakala murid-muridku bertindak sewenang-wenang terhadapku, hanya karena orangtua mereka yang kaya raya itu tidak terima jika anaknya yang terlibat masalah aku kenakan sanksi tertentu. Aku sama sekali tak ada harganya sebagai seorang pendidik, sebagai orangtua kedua.

Hidupku yang sudah tak lagi berarti, membawaku ke tempat di mana sekarang aku berada. Di antara terpaan angin malam yang menyisir kacau rambut panjangku, mungkin saja aku terlambat menyadari, sikapku yang amat tertutup pada banyak orang telah membuat dadaku semakin hari semakin sesak, kepalaku terasa penuh dan berat, dan isi dalam perutku seolah terus mendesak ingin keluar bebas.

Namun, aku kini cukup merasa tenang diterangi cahaya yang semakin menyilaukan kedua mataku. Aku tak mau bergeming ketika kendaraan penguasa lintasan besi ini terus berteriak panjang memecah kebisuan malam. Ada rasa senang untuk menyambutnya. Kupejamkan mata menunggu kebebasan yang akan kudapatkan sebentar lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun