Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Pengalaman Ekstrem di Pedalaman Sumatera

16 Januari 2012   18:53 Diperbarui: 8 Agustus 2015   00:09 3472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_155440" align="aligncenter" width="614" caption="Angin berputar dekat sebuah truk"][/caption] Tinggal di pedalaman, apalagi di tengah hutan belantara dimana daerahnya sangat terpencil, jauh dari jalan raya ataupun keramaian kota. Tentunya menjadi suatu tantangan tersendiri sekaligus pengalaman yang berkesan dalam hidup. Kebetulan saya pernah mengalaminya saat bekerja di sebuah tambang batu bara di pedalaman Sumatera Barat. Dengan jarak terdekat dari mes ke perkampungan penduduk sekitar 15 km, lalu menuju jalan raya lintas tengah Sumatera terpaut 50 km dan melewati jalan setapak yang berliku dari perkebunan sawit. Sungguh merupakan kenangan tersendiri yang teramat berharga bagi diri saya pribadi. Sepanjang mata memandang hanya paduan pohon sawit di sebelah timur, lalu ke arah baratnya berjejer pohon karet, kakao dan juga rerimbunan dari hutan alami yang membentang mengelilingi tambang dan mes yang kami tempati. Sementara itu tidak jauh dari tempat kami, berdiri kokoh gunung Kerinci yang tinggi dan menjulang angkuh bak seorang pertapa khayangan. Menyaksikan pemandangan yang indah dikala hari sedang cerah hingga dapat melepaskan penat karena kebosanan akibat rutinitas sehari-hari usai bergelut untuk mencari Barang Tuhan Bagi Rata (Batubara). Namun, tidak sedemikian indah seperti yang dibayangkan, sebab kehidupan di alam bebas sangatlah keras bahkan terlampau keras untuk beberapa orang yang sangat menyukai tantangan. Dihampiri warga yang membawa parang, akrab berkawan dengan binatang buas, terisolasi dari dunia luar, hingga makan-makanan yang berbau ekstrem adalah santapan empuk kami sehari-hari. Dalam rumah panggung setinggi 50 cm, dan tidak ada listrik sama sekali merupakan suatu ujian tersendiri. Sebab sesuai dengan kebijakan perusahaan dan perangkat desa setempat, yang memperbolehkan nyala genset hanya dari selepas maghrib sampai pukul 00 malam, sebab kalau lewat bisa mengganggu "penunggu" sekitar tempat itu. Maka kami pun harus puas sesegera mungkin mencharger baterai ponsel dan bergantian dengan belasan kawan lainnya. Belum lagi, akibat kolong rumah panggung yang kami tempati sangat terbuka, maka acapkali menemukan beberapa binatang kecil namun berbahaya. Kalajengking adalah salah satunya, tanpa diundang binatang dengan ekor yang mematikan itu bisa tiba-tiba berada di sebelah tempat tidur kami. Atau ketika ular besar sepanjang lima meter merayap dari balik rerimbunan pohon sawit, tentu menjadi masalah yang harus diatasi secara bersama. Meski seringkali mengganggu, namun kami tidak diperbolehkan untuk membunuh binatang-binatang tersebut, sebab konon menurut sesepuh disana, binatang itu sudah lebih dulu menempati daerah itu dibanding kami kaum pendatang. Belum lagi ketika hendak ke sungai saat pagi atau sore hari usai pulang dari aktifitas di tambang, kami semua harus ekstra hati-hati menghadapi bahaya ekstrem yang datang tanpa permisi, yaitu Biawak! Meski tidak sebesar Buaya (untung di sungai tidak terdengar adanya Buaya), sebab Biawak adalah salah satu reptil yang berbahaya. Dengan ukuran mencapai satu hingga dua meter, dapat menerkam siapa saja yang sedang asyik nongkrong di bawah pohon dekat sungai. Cakar kuku yang tajam, sanggup merobek celana jins seorang kawan hingga belel bak dipakai seorang Rocker. Dan yang lebih berbahaya adalah air liurnya yang sangat beracun lagi sangat mematikan bagi siapapun yang terkena. Alhamdullilah selama saya tinggal disana, belum pernah mendengar ada orang yang terkena air liurnya, namun kalau dicakar dan diterkam sudah sering terjadi, baik pendatang maupun penduduk asli.

*    *    *

Dari semua itu, yang paling menakutkan adalah cuaca ekstrem yang kerap terjadi hampir beberapa hari dalam satu minggu. Terkadang kika datang panas sangatlah terik hingga pendingin ruangan yang terpasang di kamar pun seolah tak berarti apa-apa. Adakalanya pula, cuaca berubah seperkian menit, tadinya matahari tampak gagah perkasa tiba-tiba tertutup oleh barisan awan hitam yang siap menyemburkan air dari langit. Akibatnya, dapat ditebak hujan turun tiada henti sepanjang hari disertai dengan angin yang berhembus kencang bergumpal-gumpal bak kepalan tangan yang hendak melumat siapa saja yang ada di sekitarnya. Setelah reda, tinggal kami terisolasi dan tidak dapat pergi kemana-mana. Pernah mencoba membeli makanan dengan memakai mobil berpenggerak empat roda (double gardan), yang ada adalah terperosok dalam lumpur dan perlu waktu dua hari untuk menariknya ke mes dengan kondisi penuh ringsek. Walau ada beberapa karyawan yang berinisiatif jalan kaki puluhan kilometer, namun itu tidak dapat dilakukan sesering mungkin. Mengingat bahaya yang mengancam di tengah perjalanan, apalagi sinyal telekomunikasi sama sekali nihil bila sudah di hutan. Mau tidak mau, suka tidak suka, untuk mengganjal perut yang kelaparan biasanya salah satu dari kami memanjat pohon Jariang (Jengkol) untuk makan sehari-hari hingga jalan mulai bisa dilewati dan cuaca mendukung. Kini meski saya sudah tidak bekerja di tambang batubara lagi, namun pengalaman selama tiga tahun berkelana keluar masuk hutan adalah momen yang sangat berkesan dalam hidup. Dan juga salut dengan perantau-perantau yang kebanyakan dari pulau Jawa, dengan terbiasa mereka melewati berbagai macam rintangan yang ekstrem hingga beberapa diantaranya ada yang berhasil. Dan teringat perkataan seorang kawan yang kini masih menetap di Padang, bahwa untuk menghadapi segala sesuatu yang berbau ekstrem harus dihadapi dengan yang ekstrem juga. Atau bahasa sehari-harinya adalah, melawan racun dengan racun...

*    *    *

 

[caption id="attachment_156010" align="aligncenter" width="614" caption="Kalau dari jauh, sekilas mirip miniatur film Transformers"]

1326730118946067401
1326730118946067401
[/caption]

*    *    *

 

[caption id="attachment_155442" align="aligncenter" width="614" caption="Longsor dekat pos tambang"]

1326490409461277157
1326490409461277157
[/caption]

*    *    *

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun