Mamiq Nasip sesungguhnya tengah berbicara soal regenerasi dalang. Regenerasi lazimnya bukanlah proses bim salabim. Ia membutuhkan sentuhan sistem besar, yang dalam hal ini menyangkut perhatian pemerintah. Anggota Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) NTB ini sudah lama merindukan berdirinya sekolah karawitan Sasak, masuk didalamnya soal pewayangan sasak.
“ Saya sudah sering menyuarakan hal ini. Tapi kayaknya pemerintah daerah lebih senang mendirikan sekolah otomotif, sekolah komputer dan sejenisnya. Saya hanya ingin setelah saya mati lalu banyak yang meneruskan budaya ini,” ungkapnya.
Hal selanjutnya, pemerintah daerah sudah seharusnya lebih mendekatkan seni Wayang Sasak kepada masyarakat terutama generasi muda. Pemerintah daerah bisa saja menyisipkan Wayang Sasak sebagai bahan Muatan Lokal (Mulok) utama di sekolah-sekolah.
“Di tingkat TK misalnya, dinding-dinding belajarnya sudah harus dihiasi oleh tokoh-tokoh wayang yang bisa dihafal dan dan diingat peserta didik sejak dini. Begitu seterusnya” tambahnya.
Mamiq Nasib kini sudah uzur, bercucu banyak, gigi sudah banyak tanggal, meski badan terlihat masih kokoh. Ia juga lambat laun akan tutup usia sebagaimana rekan-rekan dalangnya yang sudah lebih dulu. Kepunahan Wayang Sasak yang ia ramalkan harusnya menjadi perenungan mendalam.