Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bagi Guru Sekolah Pelosok, Nikmat Mengajar di Ruang Kelas Itu Belum Tergantikan

16 Juni 2020   20:40 Diperbarui: 17 Juni 2020   10:17 1172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak di kampung Bara-baraya, Dusun Tenete Bulu, Desa Bonto Manurung, Kec. Tompo Bulu, Kab. Maros, Sulawesi Selatan. (KOMPAS.com/Hendra Cipto

Persentasenya, 6 persen peserta didik berada di zona hijau, dan 94 persen berada zona kuning, orange, serta merah. Dari persentase ini, berarti hanya 6 persen saja siswa yang bisa merasakan nikmatnya belajar di ruang kelas, kan?

Itu pun jika sekolah mampu melewati berbagai proses ruwet terkait pengambilan keputusan dimulainya pembelajaran secara tatap muka. Jika tidak? Ya, sudah. Solusi saat ini barulah tentang pembelajaran via aplikasi digital, TVRI, RRI, hingga penugasan.

Nikmat Mengajar di Ruang Kelas Belum Mampu Tergantikan!
Tidak terpungkiri bahwa kegiatan mengajar di ruang kelas adalah nikmat terbesar bagi seorang guru. Para siswa juga demikian, ratusan keluh yang sempat singgah di meja KPAI beberapa bulan lalu seakan menjadi penegas bahwa sejatinya mereka lebih suka belajar tatap muka.

Apalagi bagi para siswa yang bersekolah di daerah pelosok. Jika mereka tak sekolah secara tatap muka, mungkin sudah diajak oleh orangtuanya menginap di ladang. Mau belajar via daring, sinyal di desa belum ada dan bahkan orangtuanya tak punya handphone. Mana bisa!

Jadi sudah bukan rahasia lagi bahwasannya guru sekolah pelosok lebih suka mengajar di ruang kelas secara tatap muka.

Salah satu buktinya adalah, akhir-akhir ini saya begitu sering nge-like postingan facebook rekan-rekan guru bersama muridnya dengan keterangan "corona pergilah, kami rindu ke sekolah!"

Di kelas, para guru bisa menata karakter siswa-siswinya, menjalin komunikasi keilmuan secara timbal baik dan aktif, serta bisa juga menebar canda-guyon sebagai penumbuh suasana belajar yang menyenangkan.

Biarpun siswa-siswinya sering lupa buat tugas rumah, kurang rapi, tapi selagi mereka datang ke sekolah, itu sudah cukup membuat guru-guru bangga.

Bukannya kami selaku guru benci dan tak mau pakai teknologi, tapi kondisi dan situasinya menyebabkan ketidakmampuan. Jadi, kalau selama ini ada pengamat pendidikan yang terus berkoar-koar untuk mewujudkan digitalisasi pendidikan, mohon maaf. Kami masih lambat.

Bagi kami guru sekolah pelosok, hadirnya corona ini seperti pedang yang mengibas lahan ajar hingga terbelah dua.

Belahan lahan sebelah sana punya kuasa untuk menjalankan berbagai tawaran Mas Nadiem dan aplikasi-aplikasi teknologi termutakhir. Tapi belahan lahan sebelah sini? Masih sibuk mengurusi dan memberikan motivasi kepada siswa agar tetap bersekolah.

Dari sini, rasanya lama-kelamaan kenyataan pendidikan di negeri ini mulai bermerek "tidak adil" bagi sekolah-sekolah 3T. Namanya Merdeka Belajar, tapi Merdekanya hanya untuk sekolah-sekolah yang punya fasilitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun