Mohon tunggu...
Mohd. Yunus
Mohd. Yunus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peminat kajian ekologi, politik, dan sejarah

Silahkan kunjungi https://mohdyunus.id

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Keterlibatan Akademisi di Balik Bencana Ekologis

16 September 2019   08:44 Diperbarui: 16 September 2019   10:00 1341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebakaran Lahan di Provinsi Riau/dokpri

Pertanyaannya adalah, bagaimanakah penerapan instrumen-instrumen tersebut? Jika dilihat kondisi hari ini, pepatah yang paling cocok menggambarkan hal tersebut adalah "jauh panggang dari api". 

Untuk instrumen-instrumen lama (seperti Amdal dan UKL-UPL) relatif tidak mengalami kendala berarti. Sementara, untuk instrumen yang baru cenderung lambat.

Contohnya pada penerapan KLHS yang memiliki perjalanan sangat panjang, mulai dari penyusunan konsep pada 2006-2007, kemudian dibunyikan di dalam UUPPLH 32/2009. 

Setelah terjadi tarik ulur kewenangan antara KLHK dan Kemendagri, maka keluarlah PP 46/2016 tentang Pedoman Umum KLHS, sampai akhirnya dikeluarkan peraturan menteri sebagai tindak lanjut PP tersebut. 

Sedangkan untuk instrumen lainnya, sependek pengamatan saya, belum memiliki perkembangan yang berarti, peraturan turunan yang mengatur teknis instrumen masih belum dikeluarkan. Jika ditelisik lagi, ada jarak bertahun-tahun sampai kemudian regulasi tersebut bisa diterapkan.

Mengapa penerapan instrumen-instrumen tersebut cenderung lambat? Tanpa bermaksud meniadakan pengaruh dinamika politik, keterlambatan ini juga ada kaitannya dengan peran akademisi. Aspek keilmuan menjadi salah satu faktor penting dalam perumusan regulasi. 

Hal ini menimbulkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kepakaran dan keahlian para akademisi, mulai dari perumusan, penerapan, sampai evaluasi regulasi, sehingga menyebabkan terjadinya dominansi peran akademisi. 

Padahal di sisi lain, akademisi juga memiliki tanggungjawab Tri Dharma Perguruan Tinggi yang tidak ringan. Pada akhirnya, proses perkembangan instrumen-instrumen tersebut menjadi lambat.

Selain membantu di dalam merumuskan suatu kebijakan, para akademisi ini juga "turun gunung" menjadi pelaksana regulasi tersebut. Kita lihat pada proses penyusunan KLHS, walaupun di dalam regulasi disebutkan bahwa KLHS disusun oleh tim yang disebut Kelompok Kerja (POKJA) KLHS.

Namun nyatanya, KLHS justru disusun oleh akademisi yang di dalam tim ini sebenarnya berperan sebagai tenaga ahli. Alasannya, supaya proses KLHS bisa dilaksanakan dengan cepat.

Contoh yang agak klasik namun sangat kental peran akademisi adalah pada proses penyusunan Amdal. Para akademisi tersebut terkadang "menyamar" sebagai konsultan Amdal, bahkan tidak sedikit yang memiliki perusahaan konsultan sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun