Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kelas Menengah Baru di Perdesaan

10 November 2018   11:57 Diperbarui: 10 November 2018   14:50 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto: Anak-anak saat belajar dan membaca buku di kafe kopi literasi milik kelompok Agro Ayuning Tani Dukuh Pasah, Desa Senden, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. (Dokumentasi Sugiantoro - kompas.com)

Pemandangan yang barangkali cukup mengejutkan. Kalau kita keliling di daerah-daerah perdesaan di Pulau Jawa pada umumnya dan di Kabupaten Boyolali khususnya (daerah saya sendiri), kita akan menemukan rumah-rumah yang sangat bagus (bahkan terkesan mewah), mobil-mobil bermerk berseliweran, dan penampilan penduduk desa yang tak kalah dengan orang kota. Hal ini diimbangi pemandangan adanya swalayan dan minimarket, kios dan ruko, fasilitas rekreasi dan hiburan, serta berbagai pelayanan jasa.

Ya, pertumbuhan ekonomi di perdesaan sedang tumbuh pesat. Selain kegiatan perekonomian dan industri yang semakin bergairah, perubahan menuju daerah sub-urban, intensifikasi di bidang pertanian, dan tentunya pendapatan per kapita yang juga meningkat. Hal ini memicu munculnya kelas-kelas menengah baru.

Kelas menengah baru ini berasal dari kalangan pedagang dan pengusaha, pegawai negeri dan pegawai pemerintah, guru dan akademisi, serta para pebisnis baru di bidang jasa. 

Kelas menengah baru ini dari tahun ke tahun jumlahnya kian meningkat, salah satunya adalah mulai ditinggalkannya mata pencaharian di bidang pertanian menuju ke bidang industri dan jasa. Terlebih memang lahan pertanian sendiri dari waktu ke waktu terus menyusut akibat alih fungsi lahan dan pertambahan penduduk.

Mereka memiliki kemampuan daya beli yang cukup signifikan. Kebutuhan dasar sudah terpenuhi dengan baik, sehingga mereka beralih untuk memenuhi kebutuhan sekunder, bahkan kebutuhan tersier. 

Kebutuhan akan pendidikan anak-anak yang bagus (sekolah favorit), rekreasi dan hiburan, jasa perawatan tubuh, olahraga dan kesenian, wisata dan umrah, hingga pemenuhan kebutuhan tersier seperti rumah mewah, mobil bermerk, membangun tempat usaha, serta memiliki aset-aset tertentu.

Kelas menengah baru ini ada yang tinggal di perdesaan, ada pula yang tinggal di daerah perantauan. Hebatnya lagi, yang tinggal di perantauan biasanya memiliki dua rumah, satu di desa satu di kota. 

Di desa membangun rumah yang cukup bagus hanya ditempati kalau waktu Lebaran saja. Atau rumah itu disuruh menempati orang tua atau saudara. Ada juga yang dibiarkan kosong begitu saja. Bahkan, ada pula yang disuruh orang lain menempati secara gratis. Soalnya kalau di desa masih susah untuk disewakan, kecuali lokasinya dekat dengan kota kecamatan yang sudah banyak para pendatang dan perantau.

Mengurangi Urbanisasi
Sejak terjadinya perkembangan desa yang begitu cepat dan kecamatan menjadi sebuah kota kecil (sub-urban), minat anak-anak muda untuk pergi merantau terutama ke Jakarta juga semakin berkurang. 

Selain lapangan kerja di desa juga sudah banyak tersedia, tinggal di desa juga berasa hidup di kota, bisa hidup ala kota-hidup gaya kota. Termasuk juga minat para kaum muda untuk melakukan wirausaha, terutama di bidang industri pertanian maupun industri kreatif. Justru malah kawasan kota kecamatan sekarang menjadi tujuan bagi para perantau. 

Di daerah saya, sudah ada banyak perantau dari Madura, Sunda, dan luar Jawa seperti Lampung, Minangkabau dan daerah lainnya. Mereka bilang, membuka usaha di kota kecamatan peluangnya lebih besar dan pangsa pasarnya juga besar. Daripada mereka harus buka usaha di Jakarta misalnya, yang persaingannya sudah sedemikian ketat dan peluangnya semakin kecil.

Desa-desa terus dibangun secara revolusioner. Jalan-jalan diperbaiki dan diperlebar. Dibuat taman-taman dan dihias. Dibangun kios dan ruko, pasar tradisional yang modern, jasa-jasa pelayanan seperti di kota. Desa terlihat lebih indah, menarik, dan tertata rapi. Bagaimana orang tidak senang melihatnya, dan betah tinggal di desa.

Umpama kepepetnya harus merantau, Jakarta bukan lagi pilihan yang utama. Daerah-daerah luar Pulau Jawa menjadi pilihan alternatif, sebab di sana peluang masih besar dan tentunya dengan gaji atau penghasilan yang lebih besar pula. Termasuk pilihan untuk bekerja di luar negeri bukan sebagai TKI, tapi sebagai tenaga terampil dan terdidik. Negara tujuan adalah negara-negara industri maju seperti Jepang, Korea, Uni Emirat Arab, maupun ke kawasan benua Eropa dan Amerika.  

Kelas "Low End" yang Patut Diperhitungkan 
Selain kelas menengah baru, kelas menengah bawah juga memiliki kemampuan daya beli yang layak diperhitungkan. Para petani yang memiliki hasil panen yang baik, para pekerja pabrik, atau bahkan buruh tani dan buruh bangunan; mereka sudah mulai berpikir untuk memenuhi kebutuhan sekunder. 

Daya beli mereka sudah merangkak naik, mengikuti daya beli para kelas menengah. Mereka juga sudah memiliki smartphone model terbaru, sepeda motor terkini, penampilan yang trendi,serta sering pergi wisata. Rumah mereka tak lagi terbuat dari bambu atau kayu, tapi sudah tembok.

Mereka juga sudah mengenal transaksi online, seperti belanja lewat toko online. Bahkan, beberapa di antaranya cukup antusias untuk mengetahui berbagai produk yang ditawarkan oleh onlineshop. 

Banyak barang-barang yang belum pernah mereka lihat atau mereka temukan di desa. Hal ini membuat mereka sangat ingin memilikinya, ditambah kemampuan mereka untuk membelinya. Kaum low end dan menengah baru inilah yang sering menjadi sasaran onlineshop.

Seiring bertambahnya pendapatan keluarga, tidak sedikit dari para kaum low end ini yang naik kelas menjadi kaum menengah baru. Entah karena mereka diterima menjadi pegawai tertentu, usaha maju, atau membawa modal besar sehabis kerja dari luar negeri.

Penutup
Dengan semakin banyaknya kelas menengah baru di perdesaan, berarti kaum miskin juga berkurang. Hal ini setidaknya bisa membantu pemerintah dalam program pembangunan nasional, yaitu memberantas kemiskinan. 

Lagi pula, sekarang mencari orang miskin di desa juga agak susah. Selain memiliki penghasilan yang rata-rata sama, juga ketimpangan antara si kaya dan si miskin di desa tidaklah kentara seperti di kota besar.

Desa bahasa Inggrisnya adalah paradise. Sedangkan paradise berasal dari bahasa Arab firdaus, yang berarti surga. Ya memang benar adanya, desa laksana surga di dunia. Tak percaya? Bagi orang kota yang belum pernah tinggal di desa, saya sarankan untuk tinggal di desa beberapa hari saja, dan saya yakin Anda akan benar-benar merasakan yang namanya "surga".

Oleh: Trimanto B.Ngaderi
Orang yang telah lama tinggal di desa, yang kemudian memutuskan untuk menetap di desa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun