Hal ini menciptakan ketidakadilan tidak hanya bagi produk kompetitor yang berasal dari Indonesia tetapi juga jenis hiburan lain seperti TV Kabel dan Bioskop yang memberikan konten hiburan tetapi dengan harga sudah termasuk PPN.
Sebenarnya pengenaan pajak seperti ini tidak hanya sedang digalakkan di Indonesia tetapi juga di negara lain seperti Amerika, Canada, Uni Eropa dan populer dengan istilah Nexus Tax.
Prinsip ini melihat subyek pajak tidak perlu lagi kepada ada tidaknya suatu entitas legal (Netflix tidak memilik kantor di Indonesia) tetapi dari manfaat ekonomi yang diperoleh oleh suatu entitas tersebut (pendapatan Netflix dari pengguna Indonesia sebesar USD 38,970.000).
Maka berdasarkan manfaat ekonomi tersebut Netflix dapat dikukuhkan sebagai Wajib Pajak di Indonesia dan mengenakan PPN atas transaksinya di Indonesia.Â
Jika ada konsumen mengeluhkan hal ini sebenarnya agak aneh karena sebenarnya untuk pelanggan di beberapa negara lain Netflix juga mengenakan PPN (di luar negeri disebut VAT atau GST) seperti di halaman web help centre mereka seperti di bawah ini.
Di Amerika, karena pajaknya berupa Sales Tax dan dipungut oleh negara bagian tarifnya bisa bisa berbeda antar negara bagian. California mengenakan 8,66% sedangkan di Florida hanya 7,05%. Rincian berapa VAT atau GSTÂ atas biaya langganan ternyata bisa ditemukan di email tagihan bulanan pelanggan. Jadi praktek seperti ini adalah hal yang normal dan bahkan sudah diinformasikan di bagian FAQ pengguna Netflix.
Mereka hanya menanggung beban administrasi karena berfungsi memungut PPN dari pembeli pakaian kemudian menyetorkan PPN nya tanpa ada satu rupiah pun keluar dari kas perusahaan.
Apakah penerapannya akan selancar itu?
Netflix, dengan estimasi pendapatan dari Indonesia tahun 2019 sebesar USD 38.970.000 atau Rp 506.610.000.000 (kurs 13.000) maka terdapat potensi PPN 10% sebesar 50 milliar lebih hanya dari satu penyedia jasa streaming video.