Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dilema Pertanian: Antara yang Maju dan Dapat Tenggelam

27 Juli 2020   15:10 Diperbarui: 28 Juli 2020   09:45 1817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hasil panen seperti padi sendiri yang sudah pasti takarannya memang tidak dapat ditawar karena sudah paten kalkulasinya ukuran menurut luas lahan sawahnya yang hasilnya setiap musim sama: perolehan maksimal, belum dengan hama-hama yang menyerang dapat mengurangi hasil panen.

Karena dihadapkan dengan pergolakan dinamika usaha. Petani dan lahan pertanian bukan termasuk bisnis usaha yang pasti menjajikan. Ada dinamika-dinamika alam yang harus dihadapi. Hari ini mungkin tanaman padi dapat optimal bagus, tetapi di hari depan belum tentu, bisa terjadi bonjrot akibat faktor hama yang menyerang.

Tetapi lagi-lagi saya sebagai anak petani penggarap yang menggarap sawah dengan beli "sewa" harga yang tidak murah per tahun tanah sawah garapan, memang miris jika minat buruh tani memetik hasil panen sendiri menginginkan hasil lebih dari hasil kerjanya, yang membuat keuntungan petani penggarap tipis belum dengan harus membeli lahan lagi untuk sewa tahap berikutnya.

Bukankah dengan tawaran harga yang semakin melonjak buruh tani, yang menyebabkan tipisnya hasil panen bagi petani penggarap, akan mengurangi minat pada jasa buruh tani tersebut? 

Berbagai kemajuan teknologi pertanian, bukankah kedepan kepraktisan dan tidak menuntut berbeda dengan manusia bisa dilakukan oleh teknologi mesin?

Banyak Menuntut Buruh Tani Cepat Tenggelam 

sumber gambar: dokpri
sumber gambar: dokpri

Tidak dipungkiri memang di desa saya hampir 40% lahan pertanian digarap oleh petani penggarap yang sewa lahan per-tahun. Mengarap lahan pertanian untuk operasional seperti pupuk, perawatan, dan segala macamnya jika memang lahan punya sendiri pun hitungannya besar apa lagi jika lahan sawah tersebut sewa.

Sudah pasti hitung-hitunganya mepet sekali hanya punya keuntungan padi untuk makan sehari-hari bagi petani penggarap. Tetapi di desa mau usaha apa lagi kalau bukan memilih usaha sektor pertanian. Desa umunya jarang ada industri, wirausaha pun peluangnya tidaklah banyak jika itu dilakukan di desa berbeda dengan kota.

Maka cerita dari bapak saya yang saat ini "sulit" mencari tenaga "orang" untuk memanen padinya disawah menjadi cerita miris. Tidak mau buruh tani memanen padi tersebut dengan alasaan: jika tidak ada nilai plusnya dan lain-lain. Dalam arti menuntut lebih hasil panenan saat mereka mengerjakan pekerjaan panen padi tersebut.

Memang hanya beberapa glintir orang yang sulit dan menuntut untuk sekala mengerjakan panenan padi di desa saat ini. Tetapi jika provokasi tuntuntan sebagian glintir orang tersebut jika menjadi umum dan dipatuhi semua buruh tani, salah satu contohnya tidak mau bekerja dengan alasan hasil atau fasilitas yang akan diberi oleh penggarap lahan sawah, bukankah itu merugikan buruh tani itu sendiri kedepan secara keseluruhan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun