Jika kita tidak lagi pura-pura menutup mata terhadap kenyataan politik saat ini, perlahan tapi pasti kebohongan jalannya politik akan mempengaruhi individu. Individu ini nantinya akan menjadi orang tua. Orang tua akan terpengaruh dalam pola asuh mereka, maka akan timbul tunas generasi yang luntur nilai kejujurannya.
Permisalan yang sama sudah barang tentu berlaku pada orang tua anak yang ada di sekolah. Justru diharapkan peran guru sebagai perbaikan dan penghalau anak dari kampanye politik. Kembali lagi, baik guru maupun orang tua, bukan profesi mereka yang mampu memupuk karakter anak, melainkan pribadinya.
Maka bila ditelisik lebih jauh, kampanye politik kemudian disayangkan telah mencemari dua kemurnian unsur tatanan kehidupan. Kealamian anak-anak sebagaimana fitrahnya anak-anak. Dan kemuliaan tujuan politik sebagai jalannya mencapai kemakmuran rakyat.
Bukan berarti orang dewasa serta-merta menjauhkan anak-anak dari pengetahuan sistem negaranya. Namun melibatkan mereka pada usia yang tidak semestinya juga bukanlah hal yang tepat. Justru dengan memanfaatkan suasana inilah anak-anak diberikan edukasi dan pengertian bahwa politik belum menjadi ranah mereka. Maka individu yang edukatif harus selalu tersedia dan disediakan. Dengan cara diberikan edukasi dan mencari asupan edukasi.Â
Dengan begitu, peran pemerintah tentu dibutuhkan, meski regulasi mereka tak bisa menyinggung langsung dunia anak-anak. Adalah orang dewasa yang matang pikirannya bersinergi atas dasar kesadaran dan kepedulian akan masa depan anak, dan hak anak di masa sekarang.
Namun lagi-lagi harus ada perilaku yang disayangkan. Pemerintah yang terus menggunakan kata mengimbau, menganjurkan, mengarahkan dan semisalnya, dirasa belum cukup sebagai pukulan bagi orang tua untuk tidak melibatkan anak, terlebih dalam kampanye terbuka waktu itu. Dengan dalih, tidak ada yang menjaga anak mereka jika ditinggalkan di rumah. Alasan klasik para orang tua ini, secara tidak langsung mencerminkan prioritas mereka.
Dalam UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 pasal 280 ayat 2 huruf k, telah menyatakan bahwa peserta dan atau panitia dilarang melibatkan warga yang tidak memiliki hak pilih. Namun panitia kampanye terbuka justru tak bisa berbuat banyak, menghadapi massa yang terlampau membludak. Pasal ini pun dipertanyakan keberadaannya
Meski dalam UU tersebut juga disertakan hukuman pidana bagi yang melanggar, berupa kurungan 1 tahun dan denda 12 juta rupiah. Pertanyaan kenapa hukum ini tidak diterapkan tidaklah tepat sasaran. Jika tidak diimbangi dengan pengertian, edukasi dan dampaknya terhadap anak kepada orangtua, maka pertanyaan yang tepat adalah: Masih efektifkah hukum tersebut diberlakukan ?Â