Yang dimaksud A, yang diterima B. Gagal paham, mispersepsi, miskomunikasi, dan berpikir sempit terjadi karena interaksi kita kebanyakan tak dibarengi dengan kecerdasan ini. Selain itu, kecerdasan kontekstual memberi kita kemampuan untuk mengidentifikasi persoalan, mencari jalan keluar, dan mengeksekusi suatu gagasan dengan tepat.
Keempat, kecerdasan moral. Di samping segala kemudahan yang ditawarkan, hadirnya teknologi juga rentan memudarkan moral compass kita. Semua bercampur dan berbaur. Maka, kecerdasan ini dibutuhkan agar manusia dapat bekerja dan berinteraksi dengan tetap menggunakan nilai-nilai yang dianut secara universal.
Kelima, kecerdasan generatif. Inovasi dan gagasan baru tak akan muncul dengan sendirinya. Kesempatan-kesempatan ini datang dari mana saja, dan tak banyak orang yang punya kecerdasan untuk menangkap peluang-peluang tersebut. Namun, menangkap peluang tak bisa dilakukan ketika kita terjebak dalam pola pikir sempit. Karena, menurut Wapres Ma'ruf Amin, pola pikir sempit memunculkan sifat egoistik, tak menghargai perbedaan pendapat, dan tak mau berdialog. Semua hal yang bertolak belakang dengan kecerdasan generatif.
Keenam, kecerdasan eksploratif & transformasional. Senada dengan kecerdasan generatif, kecerdasan ini fokus pada menciptakan peluang di masa depan dengan inovasi dan terobosan-terobosan baru.Â
Selayaknya berlayar, eksplorasi membutuhkan keberanian dan tekad yang kuat. Karena dengan eksplorasi, seseorang akan keluar dari zona nyaman, status quo, dan merangkul masa depan meski penuh ketidakpastian dan risiko.Â
Kecerdasan ini bisa dilakukan dalam beberapa bentuk, seperti mencari hobi baru, mengasah skill, mencoba peluang bisnis, melanjutkan sekolah, dan lain sebagainya. Pola berpikir sempit hanya akan jadi tembok penghalang untuk hal-hal tersebut.
Ketujuh, kecerdasan ekosistem. Di era teknologi, posisi kita tak lagi terkotak-kotakkan di dalam golongan kita saja. Teknologi memungkinkan ekosistem terbentuk, yang di dalamnya terdapat interaksi antargolongan yang sifatnya holistik, kolaboratif, dan sinergis.Â
Maka, ketika arus berpikir sempit dapat menjebak kita kepada perilaku radikal yang mengedepankan kekerasan dan kebencian dalam menyelesaikan persoalan, cara berpikir ini seharusnya tak lagi punya tempat di alam bawah sadar kita.Â
Perspektif ekosistem muncul dengan tujuan agar semua pihak dapat saling mengerti, memahami, memperkuat, dan mendorong kemajuan bersama. No one left behind.Â
Ah, banyak sekali pekerjaan rumah kita. Sebab, pada dasarnya, untuk keluar dari arus berpikir sempit, apakah kita berperan sebagai ilmuwan, pengusaha, profesional, pelajar, hingga pimpinan organisasi/perusahaan, diperlukan upaya ekstra untuk mengejar ketertinggalan.Â
Baik dalam hal pengetahuan, penggunaan, hingga pemaknaan kita pada teknologi itu sendiri. Dan arus berpikir sempit tak hanya persoalan untuk golongan-golongan tertentu, melainkan kita semua. Kita boleh jadi sangat pintar, tapi kalau tidak cerdas untuk persoalan ini, atau malah terjebak dan tertinggal, kepintaran kita tak akan berarti apa-apa.
***
Artikel baru, setiap Rabu dan Sabtu.