Baru pada masa akhir jabatan DPR 2014-2019, revisi RUU KPK, RKUHP, RUU Pengusaan Lahan, dan sebagainya, dibeberkan kepada masyarakat. Padahal sejatinya, setiap rumusan pasal harusnya melibatkan peran serta masyarakat sedari awal.
Mereka yang berpengalaman dalam perkara pidana, harusnya diundang saat pembahasan.Â
Karena kurangnya sosialisasi, saya kira, maka tiba-tiba pasal-pasal kontroversial tersebut dipotong-potong, ditambah-tambahi, dan diterjemahkan dengan analogi yang seenaknya sendiri.
Lebih buruk lagi, perumusan Undang-Undang yang menjadi wilayah legislator, alias lawmaker, alias pembuat hukum, dipersalahkan kepada eksekutif. Maka timbullah anggapan bahwa pemerintah sedang berniat buruk hendak mencerabut kebebasan dari warga negaranya.
Dedek-dedek gemez, demikian kami memanggil generasi KPopers masa kini, mungkin memang belum memahami betul apa itu Trias Politica.
Tapi kalau mereka tidak turun ke jalan, berlatih menyuarakan aspirasi masyarakat, dan akhirnya tercebur ke politik, mungkin selamanya tidak akan belajar betapa penting nilai politik dan kebijakan publik dalam kehidupan kita.Â
Bahasa mereka mungkin tidak seserius kita. Karena berbeda dengan saya yang memang mengalami peristiwa 98 saat masih SMP, misalnya, generasi pecinta skinker (pelesetan dari skincare alias perawatan wajah) ini hidup di era digital sejak pertama mereka bisa duduk dan menyentuh layar smartphone.
Sejak pertama bisa membaca, yang mereka baca bukan lagi buku cetak, tapi forum-forum kaskus dan media sosial macam facebook, instagram, dan twitter. Â Mereka generasi yang benar-benar total hidup dalam interaksi dua arah, sama sekali terbebas dari komunikasi searah seperti TV dan radio.
Pap TT adalah kebiasaan anak-anak muda untuk saling memamerkan bagian tubuhnya, mirip kebiasaan generasi kita chat sex via SMS saat muda. Sementara Push Rank adalah istilah bagi anak-anak penggila game PUBG yang merasa hal sepenting itu harus ditinggalkan demi mengikuti demonstrasi maha penting ini.Â