Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Sekali Terunggah Akan Sulit Sekali Punah

18 Maret 2019   19:51 Diperbarui: 19 Maret 2019   17:31 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Digital Data oleh TheDigitalWay - Foto: pixabay.com

Ada dua hal penting yang bisa kita pelajari dari jejak digital kontroversial Brenton Tarrant dan Tirto.id.

Dalam 24 jam setelah tragedi brutal teroris Christchurch, Selandia Baru (13/03/2019). Facebook telah menghapus hampir 1,5 juta video aksi terkutuk ini dari linimasa. Sedang Sebelum akhirnya dihapus, Facebook sendiri menemukan setidaknya 300 ribu versi video berbeda tragedi ini. 

Platform seperti Instagram, YouTube dan Twitter pun berusaha susah payah men-take down konten aksi terorisme tersebut. Sedang di forum seperti 8chan dan Reddit, video tersebut akhirnya mengundang perdebatan sengit. 

Di kala debat Cawapres kemarin (14/03/2019), Tirto.id sempat mem-publish infografis kontroversial. Konten misinformatif dengan memotong konteks potongan pernyataan KH. Ma'ruf Amin diposting pihak Tirto.id. Begitupun 'dark joke' pernyataan Sandiaga Uno yang memelesetkan 'penghapusan UN menjadi NU.'

Walau pada akhirnya Tirto.id meminta maaf secara resmi atas infografis tersebut. Sekaligus segera menghapus tweet dari infografis konyol tadi. Namun netizen kadung men-screen capture tweet infografis Tirto.id tersebut.

Saya tidak akan banyak membahas kontroversi atau implikasi politis dibalik kedua konten. Baik video brutal aksi Brenton atau infografis konyol Tirto.id setidaknya memiliki kesamaan.

  • Kedua konten menyulut viralitas di dunia digital, khususnya sosial media
  • Kedua konten akan tidak mungkin bisa dihapus, karena sifatnya sebagai active digital footprint

Trend atau viralitas sebuah konten akan pasti menyedot perhatian. Baik itu konten positif seperti peduli kebencanaan, aktivisme politis, gerakan sosial, dsb. Atau konten negatif, seperti polarisasi politis, hate speech dan misinformasi, dsb. Kedua konten ini bisa diciptakan atau tercipta.

Trending muncul dari keywords atau tagar yang diposting secara masif dan pada jangkauan momentum tertentu. Baik aksi brutal Brenton atau infografis Tirto.id memiliki pemantik viralitas.

Ketika isu ini dibicarakan netizen via social gestures. Maka algoritma sosmed menganggap keywords/hashtag tersebut populer. Netizen pun berkerumun untuk membahas via posting atau share.

Pada aksi Brenton, viralitasnya termasuk global. Karena live stream aksi Brenton kabarnya sudah terencana. Tidak dengan infografis Tirto.id yang bersifat lokal, khusus Indonesia. Walau tak jarang, trending lokal pun bisa di-push untuk menjadi isu global.

Aksi 17 menit live stream brutal Brenton konon sudah direncanakan. Maka tak heran banyak sekali versi video aksi ini yang beredar. Beberapa media kredibel bahkan sempat menayangkan aksi Brenton walau beberapa detik sebelum kebrutalannya berlanjut.

Sedang, infografis Tirto.id walau dihapus. Dapat di-screen capture oleh banyak netizen. Apalagi di saat Tirto.id mengunggah konten tersebut bertepatan dengan Debat Cawapres yang sedang berlangsung. 

Konten apapun ketika sudah diunggah ke daring. Maka akan berbentuk data digital footprint. Baik konten aksi brutal Brenton atau infografis Tirto.id. tidak akan bisa di-revoke atau dibatasi lagi aksesnya oleh pengunggah. 

Digital footprint akan tetap sifatnya publik. Apalagi ketika mediumnya adalah sosial media. Jejak ini bersifat active karena dengan sukarela kita mengunggah identitas dengan foto dan video yang ditandai dengan lokasi (geo tagging).  

Video aksi penembakan Christchurch beredar tidak hanya di platform sosmed. Karena faktanya, unduhan video aksi brutal Brenton beredar juga di aplikasi seperti WhatsApp dan Telegram. Video tersebut pun akan terus ada jika sudah ditransfer ke hard drive seperti di PC atau Flash drive.

Sedang tweet Tirto.id masih bisa di-retrace via web cache Google. Walaupun juga kemungkinan 50-50 tweet infografis Tirto.id tersimpan di web archive. Namun yang paling jelas, infografis tersebut sudah ada di tangkapan layar netizen Indonesia yang kritis.

Maka, ada baiknya kita kini benar-benar bijak mengunggah apapun di sosmed. Begitupun juga dengan pola dan etiket kita dalam berinteraksi. Intinya, apapun yang kita unggah online tidak bisa kita tutupi aksesnya dan sebarannya.

Dan yang terpenting, batasi dan laporkan konten negatif di sosial media. Baik dilaporkan langsung ke pembuat platform seperti Facebook atau Twitter. Ataupun ke pihak berwenang yang juga memonitor dunia siber.

Salam,

Solo, 18 Maret 2019 | 07:50 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun