Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Memahami Kecewa dan Bahagia Bersama Buku "Jika Kita Tak Pernah Baik-Baik Saja"

27 Maret 2024   22:06 Diperbarui: 29 Maret 2024   16:31 1248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by M. Gilang Riyadi

"Kita pernah mengalami krisis, tak pernah baik-baik saja menerima keadaan dan menyalahkan diri sendiri. Mengarungi hidup adalah tentang seni mencintai, termasuk mencintai diri sendiri dengan segala kekurangan, dan berusaha memperbaikinya."

Kurang lebih seperti itulah sinopsis yang ada di balik buku self improvement berjudul Jika Kita Tak Pernah Baik-Baik Saja karya Alvi Syahrin yang pertama rilis di tahun 2020.

Buku ini sebenarnya seri ketiga dari trilogi Jika Kita... di mana dua buku sebelumnya berjudul Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta dan Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa. Ketiga buku ini sama-sama tentang pengembangan diri dengan mengambil tema yang berbeda.

Pada buku ketiga ini akan difokuskan pada diri yang sering kecewa, merasa tak pernah bahagia, juga tentang pencarian arti hidup. Saya akan mencoba mengulasnya di sini dan merekomendasikannya pada Kompasianer sekalian.

Buku ini terdiri dari 4 bab utama yang di dalamnya terdapat sub-bab lagi yang lebih menjelaskan lebih rinci dari pembahasan utama tersebut. Masing-masing sub-bab ini punya pembahasan yang singkat (mengingat bukunya juga tak terlalu tebal), sehingga pembaca tak akan mudah bosan ketika membacanya, apalagi buku ini punya warna biru muda yang membuat saya jadi betah membaca.

Image by M. Gilang Riyadi
Image by M. Gilang Riyadi

Oh ya sebelum kita mengulas lebih detail, saya ingin memberi tahu bahwa buku Jika Kita Tak Pernah Baik-Baik Saja sangat cocok dibaca saat bulan Ramadan, lho. Kenapa? Ini dikarenakan buku ini bisa menjadi bahan evaluasi bagi diri sendiri yang kadang merasa tak adil bagi kehidupan dunia.

Kita juga bisa merenungkan diri untuk tahu apa yang bisa kita lakukan ke depannya baik untuk diri sendiri, orang lain, ataupun Allah SWT. Mengingat bahwa penulisnya ini merupakan seorang muslim, maka di dalamnya pun akan ditemukan beberapa potongan ayat yang akan mendukung bab/sub-bab yang sedang dibahas.

Maka dari itu saya mencoba mengulas per Bab-nya yang di dalamnya ada 4 bagian. Yuk disimak!

PATAH HATI, KEHILANGAN, DAN PENGKHIANATAN

Persoalan patah hati adalah sesuatu yang tentu pernah terjadi di kehidupan manusia. Tak melulu soal cinta kok, bahkan dalam pertemanan pun kita bisa menemukan patah hati karena apa yang kita lakukan ternyata tak mendapat timbal balik yang sepadan.

Bab 1 ini punya 14 sub-bab yang dimulai dari Akhirnya Kita Berpisah dan diakhiri dengan Adakah yang Lebih Baik Darinya?

Singkatnya, kita akan diajak mengingat momen-momen tak menyenangkan yang pernah terjadi dalam hidup. Bisa karena pasangan, atau juga karena sahabat. Penulis Alvi Syahrin bisa membawa pembacanya begitu relate dengan pembahasan di buku. Itulah kenapa saya begitu nyaman membaca dan seolah masuk ke tulisannya.

Setelah itu ada poin-poin penting yang disampaikan, seperti fakta pahit yang harus kita tahu. Dari sana pun kita akan diberikan beberapa solusi singkat dengan bahasa yang kalem tanpa menggurui. Sekilas saya bukan hanya seperti membaca, namun juga diajak ngobrol.

Salah satu yang saya suka dari kutipan buku ini adalah "Pernahkah kamu mendnegar kisah tentang hujan deras yang tak pernah mereda? Bukankah badai sehebat apapun pasti akan menenang?"

Kalimat tersebut cukup menenangkan dan membuat pembaca paham bahwa, ya hidup memang sulit dan tak adil, tapi tak akan selamanya begini terus.

LETTING GO, MELEPASKAN

Jika di bab sebelumnya merupakan proses ketika kita patah hati dan kehilangan, maka di bab selanjutnya memfokuskan pada cara kita untuk bisa lepas dari rasa sakit itu. Tentu tak akan mudah dan akan ada proses yang dilalui.

Pada salah satu sub-bab berjudul Tapi, Alam Semesta Masih Peduli dijelaskan bahwa sesedih apapun kita saat ini, alam semesta masih berjalan seperti biasa. Matahari masih bersinar, udara pun masih menyelinap lewat jendela menjadi sesuatu yang kita butuhkan untuk bernapas.

Intinya adalah kita boleh bersedih, namun jangan berlarut dalam kesedihan. A little part of this world still needs you in a way you can never understand

Image by M. Gilang Riyadi
Image by M. Gilang Riyadi

Sub-bab lain yang tak kalah menarik ada pada judul Aku Melepaskanmu Karena Allah yang isi di dalamnya cukup menampar.

Sebenarnya, siapa yang lebih kita cintai? Allah atau balasan duniawi-Nya?

Di sini dijelaskan tentang kisah Nabi Ibrahim yang kala itu harus menyembelih anaknya sendiri, Ismail. Di sana kita bisa mengambil poin penting bahwa Nabi Ibrahim lebih memilih aturan Allah SWT dibanding dengan apa yang dicintainya.

KEBAHAGIAAN YANG TELAH LAMA HILANG

Pada bab berikutnya kita punya bahasan yang lebih menarik, yaitu soal kebahagiaan. Kita pasti pernah merasa bahwa hidup kok begini ya sampai seakan tidak mengenal apa itu bahagia. Lalu melihat orang lain di sosial media yang memamerkan sesuatu, jadi buat diri ini berpikir kenapa bukan kita yang merasakan kebahagian itu?

Padahal sejatinya, hidup tidak mendadak happy ending setelah mendapat semua yang kita inginkan. Banyak sekali sesuatu yang dikotakkan bahwa kita akan bahagia setelah menikah, setelah punya anak, setelah lulus dan sebagainya. 

Kenyataannya hal ini jadi sesuatu tak berujung karena bahagia tak melulu soal satu hal. Kita sendiri lah yang harus menemukan arti bahagia itu sendiri tanpa perlu melihat kebahagiaan orang lain.

Image by M. Gilang Riyadi
Image by M. Gilang Riyadi

Lagi pula, kita terlalu membuat standar bagi kebahagiaan yang mana ketika standar itu tak terpenuhi, otomatis kita akan kecewa. Tanpa kita sadari juga bahwa bahagia punya risiko. Misal kita sudah bahagia karena kaya raya, padahal ada risiko yang harus ditanggung.

Jauh dari keluarga, sibuk ke pekerjaan, hingga terlalu fokus saja ke satu bidang demi mendapat uang. See? Kadang ada hal yang perlu kita perhatikan di bagian belakang yang tak terlihat.

SELF LOVE

Bab terakhir yang terdiri dari 6 sub-bab ini menjadi bagian terakhir dalam buku Jika Kita Tak Pernah Baik-Baik Saja. 

Memang rasanya pembahasan self-love sering kita jumpai juga di sosial media lain seperti instagram. Meski begitu kenyataannya masih sulit untuk mencari makna mencintai diri sendiri ini.

Di sub-bab pertama akan ada pembahasan soal influencer yang tak melulu menjadi patokan kebahagiaan, lalu berlanjut ke sub-bab lain, salah satunya yang berjudul Caraku Mencintai Diri Sendiri.

Di sini akan dibahas bagaimana cara kita untuk mencintai terlebih dulu siapa yang telah menciptakan kita, yaitu Allah SWT. Cobalah untuk memahami, mencintai, mempelajari sifat-sifat-Nya, dan mendengar kajian-kajian tentang ilmu yang membahas kebesaran-Nya.

"Bayangkan jika fokusku hanyalah sebatas mencintai diriku. Mungkin, aku akan berusaha mencari pembenaran atas segala kesalahan yang kulakukan, dan berbangga diri terhadapnya, just for the sake celebrating myself. Tak terbayangkan sejauh mana ketersesatanku."

Di akhir sub-bab berjudul Jika Kita Tak Pernah Baik-Baik Saja akan dibahas soal isi besar dari buku ini, yaitu bahwa letak happy ending bukan di dunia ini. Karena kita sudah tahu bahwa masih ada stok kebahagiaan yang kekal tersisa di akhirat bagi orang-orang yang benar.

...

Sekian ulasan buku yang saya baca di bulan Ramadan ini yang bisa juga jadi rekomendasi bagi Kompasianer. Semoga bermanfaat, akhir kata sampai jumpa di tulisan selanjutnya! :)

-M. Gilang Riyadi, 2024-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun