Mohon tunggu...
Fahri Rozi
Fahri Rozi Mohon Tunggu... -

Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unpad

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wayang dan Penyebaran Islam di Indonesia oleh Wali Songo, Sebuah Harmonisasi dalam Keberagaman

21 Juni 2010   01:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:24 1378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia merupakan negara luas yang memiliki tingkat keanekaragaman yang besar. Keanekaragaman itu menjadi amat menawan untuk dicermati.Warna-warni yang ada memperindah atmosfer berbangsa dalam jalinan kebersamaan.

Keanekaragaman ini bisa dilihat dari beragamnya etnis seperti melayu,tiong hoa,india dan arab.Kemudian dari beranekaragamnya suku bangsa yang masing-masing memiliki adat istiadat dan bahasanya sendiri-sendiri seperti Jawa,Sunda,Batak,Madura dan Minangkabau.Sementara agama yang berkembang di Indonesia ada Kristen Protestan dan Katholik,Hindu,Budha,Kong Hucu dan yang merupakan agama mayoritas, Islam.

Dibalik keberagamannya, Indonesia juga merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dari sekitar 230 juta jiwa lebih penduduknya 85,2 % adalah Muslim.Dalam sejarahnya, proses islamisasi di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran besar Walisongo.Jika kita memperhatikan pola penetrasi budaya yang mereka lakukan ternyata para Walisongo ini sama sekali tidak menempuh jalur kekerasan sedikitpun.Namun mereka amat memahami pluralitas yang ada di Indonesia dan secara bijak larut kedalamnya dan turut berpartisipasi dalam menentukan alur sejarah bangsa.Mereka juga terlibat dalam peran-peran pembaharuan dan pencerdasan masyarakat.

Hal ini menjadi menarik untuk dicermati seiring saat ini isu pluralisme tengah menghangat.Seperti kata sebuah ungkapan "Seringkali bukan masalah benar dan salah yang menyebabkan kita berselisih,namun hanya karena kita berbeda seringkali kita berselisih".Potensi keanekaragaman ini jangan sampai menjadi kontraproduktif bagi bangsa dan negara.Dengan memahami sejarah banyak pelajaran yang bisa kita ambil dalam konteks masa kini.Kiprah para Walisongo bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita mengenai sikap bijaksana dalam menyikapi perbedaan.

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.Walisongo muncul saat runtuhnya dominasi kerajaan Hindu Budha di Indonesia. Walisongo terdiri dari sembilan orang; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga.Kesembilan "wali" yang dalam bahasa Arab artinya "penolong" ini merupakan para intelektual yang terlibat dalam upaya pembaharuan sosial yang pengaruhnya terasa dalam berbagai manifestasi kebudayaan mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan,kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

Yang menarik dari kiprah para Walisongo ini adalah aktivitas mereka menyebarkan agama di bumi pertiwi tidaklah dengan armada militer dan pedang,tidak juga dengan menginjak-injak dan menindas keyakinan lama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang saat itu mulai memudar pengaruhnya,Hindu dan Budha.Namun mereka melakukan perubahan sosial secara halus dan bijaksana.Mereka tidak langsung menentang kebiasaan-kebiasaan lama masyarakat namun justru menjadikannya sebagai sarana dalam dakwah mereka.Salah satu sarana yang mereka gunakan sebagai media dakwah mereka adalah wayang.

Pementasan wayang konon katanya telah ada di bumi Nusantara semenjak 1500 tahun yang lalu. Masyarakat Indonesia dahulu memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar.Pada mulanya sebelum Walisongo menggunakan media wayang,bentuk wayang menyerupai relief atau arca yang ada di Candi Borobudur dan Prambanan.Pementasan wayang merupakan acara yang amat digemari masyarakat.Masyarakat menonton pementasan wayang berbondong-bondong setiap kali dipentaskan.

Sebelum Walisongo menggunakan wayang sebagai media mereka,sempat terjadi perdebatan diantara mereka mengenai adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah,doktrin keesaan tuhan dalam Islam.Selanjutnya para Wali melakukan berbagai penyesuaian agar lebih sesuai dengan ajaran Islam.Bentuk wayangpun diubah yang awalnya berbentuk menyerupai manusia menjadi bentuk yang baru.Wajahnya miring,leher dibuat memanjang,lengan memanjang sampai kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau.

Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.

Dalam sejarahnya,para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di Indonesia. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Bahkan para wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu "Mana yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) dan mana yang harus dicari (Wayang Golek)".

Disamping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya,para wali juga melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya melalui penciptaan

Kelebihan intelektual yang mereka miliki sebagai kelompok yang datang dari peradaban yang lebih maju mereka abdikan untuk membangun masyarakat Indonesia pada saat itu.Sarana lain yang mereka lakukan dalam dakwah mereka adalah dengan membentuk keluarga-keluarga Islam dengan jalan menikahi penduduk pribumi serta putri para raja.Selanjutnya mereka berhasil mengislamkan keluarga kerajaan serta mengangkat harkat hidup mereka dari segi intelektual maupun ekonomi.Para penyebar agama Islam yang kebanyakan merupakan pedagang memiliki bargaining position yang kuat serta disegani oleh masyarakat.Selain itu akhlak mereka juga mampu mengambil simpati masyarakat.

Para Walisongo juga membangun pusat-pusat penyebaran agama Islam berupa pesantren.Dengan adanya pesantren-pesantren ini penyebaran Islam di tanah Jawa berlangsung dengan cepat.Selanjutnya dari pusat-pusat kegiatan sosial ini berkembang lahan-lahan pertanian dan perikanan termasuk juga aktivitas politik dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.

Fakta sejarah memberikan gambaran kepada kita bahwa Islam hadir ke bumi pertiwi tidak dengan penumbangan kekuasaan maupun agresi militer ataupun jalan-jalan pemaksaan lainnya,namun melalui jalan damai yaitu akulturasi budaya.Secara cerdas Walisongo menginisiasi pencerdasan dan pembangunan masyarakat secara kultural dan dari sanalah penyebaran Islam dilakukan.Sebuah pelajaran berharga mengenai bagaimana menyikapi perbedaan.Bahkan kita melihat bagaimana wayang sekalipun yang notabene berasal dari ajaran animisme yang sangat kontras dengan ajaran Islam dapat digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan Islam setelah dilakukan modifikasi terlebih dahulu.Para penyebar agama Islam di tanah air dahulu mencoba menggali dan memahami adat istiadat dan khazanah budaya yang ada terlebih dahulu untuk kemudian dimanfaatkan untuk berdakwah.

Pelajaran lainnya adalah bagaimana misi keagamaan yang diemban para wali disertai dengan kerja-kerja sosial sehingga menghasilkan sebuah kerja relijius yang lebih membumi dan mampu diterima dengan basis penerimaan yang kuat.Upaya mereka dengan membangun pusat-pusat pendidikan dan penggerak ekonomi merupakan buktinya.

Hal ini menjadi pelajaran bagi segenapa elemen bangsa bahwa perbedaan keyakinan agama diantara kita tidak menjadi panghalang untuk bersama menjalin harmonisasi dalam melaksanakan pembangunan.Bahkan aktivitas relijius sepatutnya juga memiliki implikasi positif bagi tatanan sosial masyarakat bukan sekedar upaya propaganda jargon-jargon kosong semata bahkan malah berujung pada konflik atau bahkan kekerasan terhadap sesama.Walisongo dan para penyebar agama Islam pada masa lalu di Nusantara telah membuktikan bahwa ajaran Islam adalah rahmatan lil alamin dan dapat menjadi harapan dalam memperbaiki dan membangun masyarakat.

Oleh : Muhammad Fakhryrozi

Wakil Presiden BEM Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun