Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Artikel Utama

Dongeng Wayang | Gendari, Cikal Bakal Dendam Kurawa

8 April 2018   19:34 Diperbarui: 8 April 2018   22:20 2313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : kerajaandongeng.blogspot.com

Dikisahkan, Sengkuni muda rela menyerahkan kakaknya---Gendari, kepada Prabu Pandu Dewanata asal sang Prabu berkenan memberikan Dewi Kunti kepadanya. Namun bukannya menerima persembahan Sengkuni, penguasa Hastinapura itu malah menghadiahkan Gendari kepada Destarastra, kakak tertuanya yang tuna netra.

Tentu saja perlakuan Raja Hastinapura itu membangkitkan kebencian tak terhingga pada dua hati sekaligus---kakak beradik, Gendari dan Sengkuni. Mulai saat itu mereka mengikrarkan diri untuk selalu memusuhi, tak akan memberi kesempatan---sedetik pun kepada Prabu Pandu Dewanata mengenyam kebahagiaan bersama keluarga, sanak kerabat dan keturunannya. 

Meski akhirnya bersedia dinikahi oleh Destarastra, Gendari tetap menyimpan baik-baik dendam kesumat di dalam hatinya. Ia bertekad, kelak akan mewariskan dendam itu kepada putra-putranya.

Suatu senja di musim dingin, Gendari mengelus perlahan perut buncitnya. 

Ya, saat itu ia memang tengah  mbobot.  Mengandung anak Destarastra.

Tapi ada yang tak lazim dari usia kandungannya. Jika pada umumnya perempuan mengandung bayinya selama sembilan bulan sepuluh hari, tidak demikian dengan Gendari. Kehamilannya telah memasuki hari ke-1000. Namun jabang bayi yang dinanti-nantikannya tak kunjung lahir.

Tentu saja perasaan Gendari tak bisa digambarkan. Campur aduk  antara sedih, kecewa, takut, was-was. Juga iri. Rasa iri kian memuncak manakala mengetahui Dewi Kunti, perempuan yang amat dibencinya itu bersiap melahirkan anak ketiga.

"Sebenarnya bayi macam apa yang ada di dalam perutku ini, duhai emban?" Gendari mengeluh kepada salah satu emban yang setia mengiringinya.

"Sabarlah Tuan Putri. Setiap bayi memilih hari lahirnya sendiri," emban setia itu berusaha menghibur junjungannya. Namun hati Gendari terlanjur gundah. Tak bisa dihibur dengan kata-kata.

Dengan langkah berat istri Prabu Destarastra itu berjalan menuju taman sari, berkeliling hingga kakinya lelah demi  menylimurkan  diri.

Taman sari yang dijelajahinya sangat luas. Taman itu terbagi menjadi tujuh area. Setiap area ditumbuhi jenis bunga yang berbeda. Kecuali pada area terakhir yang sengaja dibuat untuk penangkaran binatang buas.

Langkah kaki Gendari telah sampai di area ketujuh. Pikirannya ragu. Apakah ia akan mampir ke tempat itu?

Belum juga mengambil keputusan, tiba-tiba seekor harimau melompat dan siap menerkamnya. Gendari terkejut bukan alang kepalang. Para emban dan pengawal yang mengiringinya sontak berhamburan. Beberapa di antaranya berusaha menangkap harimau yang tak henti mengaum, sementara beberapa yang lain berusaha menyelamatkan Gendari.

Akibat rasa kaget yang luar biasa, Gendari merasakan perutnya sakit tiada terkira. Bercak darah mulai merembes dari balik kain panjangnya. Disusul sesuatu berwarna hitam, kental dan berbau amis keluar dari gua garbanya.

Kiranya Gendari telah melahirkan.

Tapi bukan jabang bayi yang keluar melainkan segumpal daging yang berdenyut-denyut dan bergerak-gerak mengerikan .

Mengetahui hal demikian, Gendari pun menjerit histeris. Ia merasa sangat terpukul dan kecewa. Dengan marah ia menendang apa saja yang ada di hadapannya. Mulutnya tak henti meracau. Mengutuk para dewa. Menyumpahserapahi suaminya, juga mencaci maki Pandu dan Dewi Kunti.

Senja itu Gendari benar-benar telah kehilagan kewarasannya. Ia bagai orang kesurupan. Para emban dan pengawal yang merubungnya berdiri ketakutan.

"Aku tidak terima ketidakadilan ini! Persetan kalian semua!"

Gendari menangis menggerung-gerung. Suaranya terdengar hingga ke telinga Resi Abyasa yang kebetulan lewat di sekitar kaputren. Dengan kesaktian yang dimilikinya, sang resi segera paham apa yang sedang terjadi.

Perlahan didekatinya Gendari. Lalu dibisikinya kalimat menenangkan, "Bersabarlah, duhai Nakmas ayu. Apa pun bentuknya, segumpal darah ini adalah putra-putramu. Lihatlah!"

Dengan sebilah keris Resi Abyasa memotong-motong gumpalan daging itu hingga tercacah menjadi seratus iris. Setiap iris ditutupinya dengan selembar daun jati.

"Jika tengah malam nanti terdengar suara tangis bayi, maka segera bukalah daun jati ini," sebelum pergi Resi Abyasa berpesan. Gendari yang semula marah perlahan hatinya melunak.

Apa yang diucapkan Resi Abyasa menjadi kenyataan. Pada tengah malam ketika bulan dimakan gerhana, keseratus daging yang tertutup daun jati itu mendadak berbarengan menggeliat. Lalu terdengar tangis bayi bersahutan.

Girang nian hati Gendari. Dibukanya satu persatu daging iris di hadapannya. Dan ia mendapati wajah bayi-bayi mungil menatapnya nakal.

"Bunda! Akulah putramu!" bayi pertama meringis ke arahnya. Demikian juga dengan bayi-bayi yang lain.

Malam itu malam yang paling membahagiakan bagi Gendari. Perasaannya membuncah. Ia mengumpulkan semua bayinya dalam satu wadah. Lalu dengan suara berat dan wajah dingin, kakak dari Sengkuni itu melontarkan sumpah, "Kupanggil kalian dengan nama Kurawa. Dan mulai saat ini kutanamkan benih dendam di hati kalian. Hancurkan Pandu Dewanata! Musnahkan semua yang berhubungan darah dengannya!"

***

Malang, 08 April 2017

Lilik Fatimah Azzahra   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun