[caption id="attachment_275040" align="alignnone" width="640" caption="Bermain Wayang Daun Singkong (sumber: http://farm3.staticflickr.com)"][/caption] "Langit kelap-kelip... bumi gonjang-ganjing... ". Suara ibu mengalun gagah bak dalang kondang. Tangannya mengetuk-ngetuk ritmis amben kayu. Sayapun terkagum menyaksikan pertunjukan di dapur. Sejenak kemudian tangan ibu memegang dua batang daun singkong yang dipilin menyerupai wayang. Dari mulutnya keluar percakapan dua lakon membuat saya terkagum sesekali terkekeh karena lucu. Kisahnya bebas, bisa Arjuna, Rama Shinta atau kancil dan buaya. Ibu memang piawai menirukan beragam jenis suara. Ketika kecil , memasak sayur singkong momen yang paling saya tunggu. Usai membantu ibu memisahkan sayur dari tangkainya tersisa batang singkong aneka warna, merah, hijau dan kuning. Dengan cekatan ibu menganyam batang-batang menjadi wayang. Sebelumnya batang singkong diletakan dekat tungku kayu sejenak agar layu dan mudah dibentuk. Sebuah batang ditekuk untuk dasar tubuh wayang. Dari sinilah tangkai demi tangkai dijalin membentuk wajah dan hidung sampai badan. Ibu biasa "mendapuk" tokoh antagonis Rahwana dari batang singkong warna merah, sedangkan warna lainnya menggambarkan tokoh protagonis. Inilah cara beliau mengenalkan warna sekaligus mengajarkan simbol-simbol yang mampu mengembangkan kemampuan berpikir abstraktif. Bagi anak umur 5 tahun kebaikan  dan pesan moral merupakan hal abstrak yang sulit didefinisikan. Tapi melalui dialog , jalan cerita dan simbol warna akan lebih mudah dimengerti. Yang nantinya membangun kecerdasan emosi serta kepekaan sosial. [caption id="attachment_275064" align="aligncenter" width="259" caption="Wayang Daun Singkong (sumber: http://permata-nusantara.blogspot.com)"]
13738197741455664238
[/caption] Berkali-kali mencoba membuat wayang tapi selalu gagal. Tangan-tangan kecil saya tidak sekuat dan selincah ibu, menekuk batang lalu menganyam dengan cekatan. Butuh usaha keras untuk menyelesaikan satu wayang. Dengan telaten ibu melatih gerak motorik tangan saya untuk mengenggam, mencengkram, memilin dan menyelipkan tangakai daun. Memperhatikan dengan sekasama apakah jalinan yang dibuat sudah benar. "Horee wayangnya jadi". Teriak saya puas sambil mengayun-ayunkan wayang. Sang arjuna batang singkong gagah digenggaman berhiaskan dedaunan dan batang padi. [caption id="attachment_275063" align="alignnone" width="580" caption="Mendalang melatih komunikasi serta kemampuan otak kanan (sumber: http://kfk.kompas.com)"]
137381953593794150
[/caption] Mendalang mirip mendongeng , melatih keterampilan berbahasa dan mengembangkan kemampuan otak kanan bagi penikmatnya. Meskipun kami tinggal di Sumatra, dalam aksinya ibu selalu menyelipkan bahasa leluhur kami, Jawa. Saya ingin bisa seperti ibu berceloteh beragam bahasa sambil melucu. Batang daun singkong itu bergerak luwes seolah hidup , gerakannya sesuai dengan intonasi dan tutur kata. Dalam pertunjukan sesungguhnya , kesenian wayang menggabungkan seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Kita patut berbangga karena tanggal 7 November 2003 , wayang diakui UNESCO sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Ternyata permainan ringan yang saya kenal di dapur dari ibu berasal dari akar budaya Indonesia dan mendapat pengakuan internasional . Ketika beranjak dewasa saya semakin jatuh cinta dengan wayang. Karena kisahnya mengandung makna filosofis yang dalam. Cerita asal negeri Hindustan mendominasi plot cerita pewayangan seperti Ramayana dan Mahabarata. Namun pujangga Indonesia mengadaptasinya sesuai akar budaya Jawa . Seperti karyaEmpu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Konsep penyesuaian yang paling menonjol adalah kedudukan para dewa dalam pewayangan. Dewa dalam pewayangan bukan lagi mahluk bersifat "putih", melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru dan khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Jawa untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan. Wayang daun singkong tidak hanya sekedar permainan masa kecil. Tapi media belajar mengembangkan kemampuan abstraktif, komunikasi, gerak motorik , kecerdasan emosional dan kepekaan sosial. Nilai filosofis yang ada dalamnya menyadarkan bahwa manusia bukan mahluk sempurna. Kata ibu manusia tempatnya salah, maka harus senantiasa mawas diri dan ingat Tuhan. "Sak Bejo-bejone Wong Lali, Isek Bejo Wong Eling". Petuah ibu selalu terngiang di benak. Terimakasih Ibu atas pelajaran hidup dan petuahmu.