Mohon tunggu...
Saleh Syarif Boestaman
Saleh Syarif Boestaman Mohon Tunggu... -

melihat dari sisi lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Polemik Trans Studio Semarang, Walikota Dalang atau Wayang?

13 Maret 2015   02:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:44 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14262124241188198321

[caption id="attachment_402439" align="aligncenter" width="565" caption="Trans Studio/Tribunnews"][/caption]

Polemik pembangunan Trans Studio di Komplek Taman Budaya Raden Saleh mengusik nurani saya sebagai warga Semarang. Tulisan ini mencoba melihat dari sisi lain berdasarkan penelusuran media dan informasi bawah tanah yang secara kebetulan saya dapatkan.

Saya akan memulainya dengan mengucapkan terimakasih pada Bapak Walikota Semarang Hendrar Prihadi. Oleh sebab, saya memandang beliau sudah sangat cukup mampu meredam panasnya situasi dengan dua kali hadir pada pertemuan dengan seniman di TBRS pada hari Minggu 8 Maret dan Selasa 10 Maret.

Teman-teman seniman saya kira tak perlu repot-repot bercuriga apakah pernyataan Pak Hendrar di dua pertemuan itu jujur ataukah lamis belaka. Toh, pembangunan itu belum ada. Masih sebatas Memorandum of Undestranding (MoU) yang sifatnya tidak mengikat dan masih terbuka untuk dibatalkan. Cukup ngugemi saja pernyataan beliau bahwa "TBRS tidak akan diutak utik karena Trans Studio hanya dibangun di lahan bekas Taman Hiburan Wonderia."

Patut diingat juga sepanjang sepak terjang beliau baik ketika masih menjadi wakil hingga diangkat walikota, sepertinya belum ada nilai merah pada poin penilaian perihal kejujuran. Saya yakin, Pak Hendrar bisa dipegang kata-katanya untuk terus berpihak pada pembangunan seni budaya.

Yang menjadi masalah adalah adanya selentingan bahwa Pak Hendrar bukanlah dalang sesungguhnya. Beliau ditekan seseorang yang memiliki pengaruh sangat besar di pemerintahan.

Bagaimana bisa, bukankah Pak Hendrar bicara sendiri bahwa dirinyalah yang berinisiatif mencari investor untuk membangun pariwisata Semarang. Sebuah destinasi wisata yang menjadikan Semarang ramai dan setara kota-kota besar lain.

Ya, memang betul. Tapi dengan kejujuran dan komitmen Pak Hendrar pada seni budaya, rasa-rasanya sangat tidak mungkin beliau bersedia menerima penentuan lokasi di Komplek TBRS, jika tidak ada yang menekan. Sebagai Walikota, tentunya Pak Hendrar sangat tahu bahwa lokasi itu memang strategis untuk Trans Studio tapi tidak menguntungkan untuk Semarang. Sebab pusat kota sudah terlalu penuh sehingga pembangunan harus mulai diarahkan ke daerah pinggiran.

Trans Studio di TBRS adalah bom waktu pemukiman, transportasi, ketimpangan ekonomi dan masalah sosial lain. Buntutnya, keuntungan tertinggi hanya didapatkan investor. Sedangkan Semarang, meski mungkin mendapat bagi hasil besar, pada akhirnya akan habis untuk mengatasi berbagai problem yang diakibatkan Trans Studio sendiri.

Apalagi, waktu penandatanganan MoU, yang bisa dipandang sebagai waktu meletusnya polemik Save TBRS, sangat tidak menguntungkan untuk pertarungan politik Pak Hendrar jelang Pemilihan Walikota yang rencananya digelar akhir tahun ini. Ketika seharusnya ia meraih simpati sebanyak-banyaknya, mengapa bersedia mengambil risiko dengan kebijakan tidak populer.

Usaha Pak Hendrar untuk meredam gejolak itu saya yakin tidak sesederhana yang terlihat. Tidak mungkin dia setenang yang nampak kemarin malam. Duduk di depan, terkesan santai dan menguasai keadaan.

Memang pada akhirnya, pada pertemuan kemarin malam, Pak Hendrar terkesan menang dan meraih sentimen positif. Tapi jangan lupa, para seniman bukan pedagang kaki lima. Jaringan mereka luas hingga akademisi, aktifis, mahasiswa, LSM, baik dalam maupun luar kota. Apalagi tidak sedikit mantan-mantan seniman TBRS yang menjadi selebritis di Jakarta. Sungguh sebuah tesis yang lemah jika ada yang berpendapat bahwa Pak Hendrar sengaja menciptakan polemik TBRS untuk mengambil benefit politik. Risiko politiknya lebih besar dari keuntungan.

Teori yang lebih masuk akal adalah adanya dalang di atas walikota. Lalu siapakah dalangnya? Saya tunjuk langsung, orang yang paling mungkin adalah CEO Suara Merdeka Kukrit Suryo Wicaksono.

Ya saya memang tidak punya bukti langsung. Itu hanya kabar berantai yang beredar di antara orang-orang di sekitar Balaikota dan Kukrit sendiri. Tapi menilik tokoh-tokoh yang membisiki saya, informasi itu patut diperhatikan kadar kebenarannya.

Informasinya begini: Bahwa CEO Suara Merdeka itu punya hutang sangat besar pada owner Trans Ritel Property Chaerul Tanjung. Sebagai kompensasi, Kukrit harus membantu mencarikan lokasi yang strategis di Kota Semarang untuk pembangunan Trans Studio. Strategis seperti apa? Menilik wawancara Chaerul Tanjung di berbagai media, lahan yang dibutuhkan untuk Kawasan Terpadu yang terdiri atas Trans Studio, Trans Hotel, dan Trans Luxury Mall sekitar 10 hektar, harus di tengah kota, dengan akses memadai.

Dari situ, Kukrit menawarkan Komplek TBRS yang separuhnya sudah berdiri Wonderia dengan total luas lahan 8,9 hektar. Masih kurang tentu saja, tapi bisa dipenuhi dengan pembebasan lahan belakang dan samping kiri TBRS yang berupa pemukiman. Chaerul Tanjung setuju dan dimulailah upaya penekanan kepada Pak Hendrar.

Tentu saja, Pak Hendrar keberatan. Tapi Kukrit mengancam tidak akan membantu dalam kampanye Pilwakot 2015. Dengan jaringan Suara Merdeka Group yang menguasai industri media di Semarang, bahkan Jawa Tengah, ucapan Kukrit tentu sangat menyeramkan. Tanpa Suara Merdeka yang berarti juga tanpa Wawasan, suaramerdeka.com, TVKU, Tabloid Cempaka, Suara Sakti FM, dan Trax FM, maka Pak Hendrar dengan kesolidan PDIP sekalipun, tidak akan menang.

Maka menyerahlah Pak Hendrar. Mungkin beliau berfikir, lebih baik kehilangan dukungan seniman yang jumlahnya tak seberapa dan mahasiswa yang belum tentu mempunyai hak pilih, daripada kehilangan dukungan Suara Merdeka.

Ketika kemudian polemik benar-benar mencuat, Pak Hendrar yang kebingungan kembali berkomunikasi dengan Kukrit. Suara Merdeka pun mengambil peranan. Kukrit mengirim pesan lewat BBM kepada Wakil Pemimpin Redaksi Suara Merdeka Goenawan Permadi.

Darimana BBM Kukrit kepada Goenawan bisa menyebar ke banyak orang, bukan urusan saya. Yang jelas, saya mendapat copiannya. Isinya, agar Trans Studio diamankan dan berita-berita harus diarahkan mendukung Trans Studio. Bagaimana perintah itu diterjemahkan Goenawan ke dalam ruang redaksi? Silahkan pelajari sendiri, termasuk berita satu halaman penuh yang dimuat Kamis 12 Maret berjudul "Pemicu Pertumbuhan Ekonomi".

Saya tidak memaksa untuk percaya. Bukti dari tulisan ini adalah kelanjutan pembangunan Trans Studio di TBRS sendiri.

Jika benar Trans Studio hanya menempati Wonderia seperti janji Pak Hendrar, maka beliau adalah dalang. Dalang yang bisa menentukan untuk berpihak pada seniman tapi tetap berusaha memajukan perekonomian Semarang.

Tapi jika nanti TBRS benar-benar digusur, maka dapat dipastikan ada dalang lain di atas Pak Hendrar. Karena sebagai Ketua Kadin Jateng, si dalang itu jelas hanya memikirkan bisnis dan keuntungan. Dalang yang bisa menggerakkan Walikota Semarang sebagai wayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun