Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Di Salatiga, Wayang Kulit Mulai Terpinggirkan

18 April 2017   16:16 Diperbarui: 18 April 2017   20:39 2053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dalang Ki Gideon beraksi di lapangan Pancasila (foto: dok pri)

Pertunjukan wayang kulit yang dulunya merupakan primadona hiburan rakyat jelata, belakangan mulai terpinggirkan dan hanya dinikmati sedikit penggemarnya. Penuturan cerita yang sarat pesan moral tersebut, kalah oleh pagelaran musik dangdut Pantura. Berikut catatannya dari Kota Salatiga untuk Kompasiana.

Penasaran dengan pagelaran wayang kulit yang diadakan di lapangan Pancasila Kota Salatiga, akhirnya saya pun ikut berbaur dengan para penonton. Wayang kulit ini, kebetulan diprakarsai Badan Kerjasama Gereja Salatiga (BKGS) berkaitan dengan perayaan Paskah. Di mana, setelah sore harinya dilakukan ibadah bersama, akhirnya malam harinya dihelat pertunjukan wayang kulit bersama dalang Ki Gedeon.

Seperti galibnya pagelaran wayang kulit, selain seperangkat gamelan juga ditampilkan tiga orang sinden yang berfungsi sebagai pemanis. Banyak pesan moral yang terlontar, karena memang dalam permainan wayang kulit selalu terselip kebaikan melawan kebatilan. Kendati ceritanya menarik, serta dalang juga memainkan beragam wayang dengan ciamik, namun ada sisi menarik, yakni sepinya penonton.

Begini lengangnya penonton wayang kulit (foto: dok pri)
Begini lengangnya penonton wayang kulit (foto: dok pri)
Bukan hanya pertunjukan yang diadakan malam itu saja, di berbagai kesempatan, wayang kulit yang digelar di perkotaan selalu sepi penonton. Bila wayang kulit agak dipadati penonton, biasanya karena sang dalang berinovasi dengan mengkolaborasi pagelaran wayang dengan penyanyi dangdut mau pun pelawak. Kendati inovasinya sering kebablasan, namun upaya tersebut tetap layak diapresiasi karena tujuannya sama, yakni melestarikan kebudayaan.

Cerahnya cuaca, rupanya tak membuat masyarakat Kota Salatiga antusias menontonnya. Dalam hitungan kasar, sekitar pk 21.00, hiburan budaya ini hanya disaksikan berkisar 100 an orang. Hal tersebut juga terjadi pada pagelaran – pagelaran wayang kulit lainnya, berulangkali dihelat tetapi tetap sepi penonton. “ Kalau dangdut Pantura, ya penontonnya selalu membludak,” kata salah satu penikmat wayang kulit bernama Mulyono (60) warga Mangunsari, Kota Salatiga ketika dimintai tanggapannya.

Suara merdu tiga sinden tak mampu menarik penonton (foto: dok pri)
Suara merdu tiga sinden tak mampu menarik penonton (foto: dok pri)
Padahal, lanjut Mulyono, wayang merupakan salah satu kesenian dari kebudayaan Jawa yang usianya sudah mencapai ratusan tahun. Dengan pesan kebaikan dan sarat nilai- nilai estetika, harusnya generasi muda wajib merawat serta memeliharanya. “ Tapi faktanya, mereka lebih gandrung dengan dangdut yang penyanyinya bersuara fals dan hanya bermodal megal megol saja,” ungkapnya.

Apa yang diungkapkan Mulyono juga dibenarkan oleh Harjo (70) warga Sidorejolor, Kota Salatiga yang kebetulan malam itu ikut menyimak pertunjukan wayang kulit. Menurutnya, jaman dirinya remaja, hiburan primadona adalah wayang kulit. Meski ketoprak juga wajib ditonton, namun penampilannya tidak sesering wayang.

Raib Digerus Jaman                                            

Jaman dulu, lanjut Harjo, karena hiburan wayang kulit banyak digelar di berbagai pedesaan, maka dirinya bersama rekan- rekan sekampungnya biasa berjalan kaki berkilo- kilo meter hanya untuk menikmatinya. Biasanya, mereka berangkat usai Isya dan pulangnya saat pertunukan usai, tepatnya jelang Subuh. “ Butuh perjuangan untuk menontonnya, sebaliknya yang terjadi sekarang ibarat digelar di depan mata saja anak muda malas menontonnya,” tukas Harjo.

Penabuh gamelan pun terkantuk kantuk (foto: dok pri)
Penabuh gamelan pun terkantuk kantuk (foto: dok pri)
Berdasarkan penuturan orang tuanya, kata Harjo, keberadaan wayang kulit tidak bisa dilepaskan dari sejarah kesenian wayang orang. Di mana, kalau wayang orang dalangnya (sutradara) berada di belakang layar, sebaliknya wayang orang sang dalang berada di depan dan sangat dominan perannya. Kemunculan kesenian wayang kulit sendiri tak lepas dari budaya Hindu serta Budha di Indonesia. Makanya, cerita Ramayana plus Mahabarata selalu mendominasi perwayangan.

Meski wayang kulit sangat erat kaitannya dengan budaya Hindu dan Budha, menurut Harjo, jaman Sunan Kalijaga yang dikenal sebagai tokoh 9 wali atau dikenal sebagai wali songo, dalam syiar agama Islam juga membawa kesenian wayang kulit. Sunan Kalijaga yang bernama asli Joko Said serta lahir di tahun 1450 M, dikenal merupakan pelopor wayang beber hingga memperkenalkan karakter Bagong, Petruk mau pun Gareng.

“Ini adalah bukti bahwa kesenian wayang sangat elastis dan bisa masuk dalam agama apa pun. Sebab, tidak ada satu pun agama yang mengajarkan keburukan, demikian juga dengan wayang, kebatilan pasti diceritakan akan kalah oleh kebaikan,” ujar Harjo.

Karena semakin hari wayang kulit klasik semakin tergerus jaman, ungkap Harjo, maka banyak dalang yang berinovasi seperti Ki Enthus, Ki Joko Edan mau pun nama- nama lainnya. Kendati begitu, dirinya tetap mengapresiasi terobosan tersebut selama alur cerita tidak keluar dari pakem pewayangan.

Memang, untuk melestarikan pewayangan, khususnya wayang kulit, dibutuhkan Harjo- Harjo muda. Pasalnya, bila mengacu penggemar kesenian tradisional ini hanya sebatas orang- orang berusia lanjut, maka bisa dipastikan wayang kulit akan tamat riwayatnya seiring berpulangnya para penggemarnya.

Itulah sedikit gambaran kesenian wayang kulit di perkotaan, khususnya Kota Salatiga. Secara perlahan namun pasti, keberadaannya mulai ditinggalkan penggemarnya. Anak- anak muda jaman sekarang, sepertinya lebih suka menikmati pertunjukan musik dangdut sembari berjoget dan tentunya terlebih dulu menenggak minuman keras. Goyangan pinggul penyanyi dangdut yang kerap berpakaian minimalis, rupanya asyik dinikmati dibanding lantunan tembang Jawa yang dinyanyikan pesinden. Sungguh memperihatinkan, padahal suara sinden jauh lebih merdu. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun