Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Delusi Identitas Ideal: Rasisme yang Mewujud Kebencian dan Kekerasan

20 Agustus 2019   21:35 Diperbarui: 21 Agustus 2019   14:38 1167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://unsplash.com

Identitas itu cukup rumit; mengandaikan kesatuan karakteristik yang menandai suatu komunitas. Namun karena kondisi perbauran masyarakat yang majemuk tak terelakkan, identitas bisa saling berasimilasi. 

Proses asimilasi identitas merupakan cara suatu komunitas untuk diterima di komunitas yang lebih besar. Ketika komunitas kecil itu sudah diterima dengan baik, karakteristik mereka kemudian menjadi bagian dari identitas komunitas besar itu.

Hal itu sudah menjadi ketentuan umum dari interaksi sosial. Sehingga hanya batasan geografis yang menjadi halangan bagi asimilasi identitas itu untuk terus berkembang. Pertemuan dua identitas akan selalu bersifat transformatif; kedua identitas itu akan melebur membentuk identitas yang baru. 

Tidak ada kategorisasi berdasarkan etnis, suku, hingga ras yang dapat menampik hal ini. Selama komunitas mereka bercampur, kategorisasi itu akan terus mengalami perubahan. Ini sudah menjadi hukum dasar interaksi sosial. 

Proses asimilasi itu pada suatu tahap akan menemui masalah terberatnya; ilusi akan mitos kemurnian identitas. Ketika konflik sosial mengemuka, terutama yang melibatkan perebutan sumber daya penopang hidup, korban menjadi tak terhindarkan. 

Karena itu merupakan suatu kesalahan, dibutuhkan suatu pembenaran agar pihak yang berkepentingan tetap bisa melanjutkan aksinya. Tak ada yang mampu hidup dari kejahatannya kecuali kejahatan itu mendapat persetujuan dari banyak pihak. Dari kekacauan itu lahirlah rasisme.

Rasisme meneriakkan klaim bahwa suatu identitas tertentu mengungguli identitas yang lain. Baik dari bentuk fisik, perilaku, hingga kepercayaan. Kaum rasis selalu merengek akan klaim mereka terhadap suatu hal; bahwa yang wajar harus menurut cara pandang mereka.

Ilusi keunggulan itu menjadi alasan pembenaran mereka untuk mengusir dan mempersekusi mereka yang berbeda. Namun hal itu justru mempertegas sisi negatif mereka. Bahwa mereka sesungguhnya tidak mampu menyesuaikan diri dalam proses evolusi sosial. Kelemahan itu mereka tutupi dengan perilaku agresif.  

Rasisme adalah penyakit sosial; lahir dari delusi kemegahan identitas yang menuntut pemujaan. Rasisme mengkhianati keberagaman dan kekayaan kultural suatu masyarakat lewat berbagai wajah. Paham ini mengingkari dinamisme perkembangan sosial namun mampu bersembunyi di balik topeng kemunafikan.

Hal itu membuat rasisme sulit diungkap dan masyarakat pun sepertinya menganggapnya biasa saja. Terkadang, masyarakat justru menikmati pertunjukan perlakuan rasial itu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rasisme mengindikasikan penindasan; meraup keuntungan dari eksploitasi penderitaan orang lain.

Rasisme menggalang dukungan dengan menebar ujaran kebencian. Mereka yang berbagi kebencian yang sama akan menjawab panggilan itu dan terus menyebut betapa identitas mereka, bukan selainnya, lebih patut disebut sebagai karya Tuhan. Padahal, mereka yang memandang rendah yang lain sesungguhnya memandang rendah Tuhan itu sendiri. 

Kecacatan yang mereka lihat dari sesamanya, bukankah itu berarti tuhan tidak sempurna dalam desain penciptaannya sendiri? Rasisme tidak hanya mencederai kehidupan, ia menyangkal keagungan penciptaan itu sendiri.

Sigmund Freud sendiri sudah mengingatkan bahwa kita semua adalah serigala yang siap memangsa satu sama lain. Keinginan untuk menaklukkan dan menguasai yang lain merupakan sifat alamiah manusia. Hal itu semakin menguat ketika berhadapan dengan identitas asing. 

Itulah mengapa manusia selalu saling curiga dan tak segan berbuat kekerasan kepada sesamanya. Rasisme adalah aib yang diwariskan oleh bangsa manusia. Aib itu mesti dibedah, disingkap luas untuk dibahas secara terbuka. Jangan malah ditampik dan dibiarkan sebab ia mudah menular.

Mitos Tanah Leluhur: Dikotomi Pribumi dan Pendatang
Setiap orang berpotensi menjadi rasis. Rasisme itu sendiri kadang ditunjukkan secara spontan, bahkan tidak disadari oleh pelakunya. Racikan rasisme berasal dari konsekuensi interaksi sosio-ekonomi-politik didukung oleh kondisi mental dan emosional penganutnya. 

Sehingga dapat dipahami bahwa perilaku rasis dapat diterapkan secara berbeda sesuai konteks yang melatarbelakanginya. Namun satu hal yang pasti, rasisme bertahan karena masyarakat itu sendiri menginginkannya. Sehingga ruang dan institusi sosial punya peran dalam melanggengkan praktek rasisme.

Termasuk dalam situasi di mana jurang perbedaan status ekonomi dan kemiskinan dapat berujung kebencian antar etnis dan suku. Migrasi suatu etnis ke daerah baru dan ikut mengakses sumber daya serta mampu bersaing di bidang ekonomi akan menghadapi sikap kebencian dari komunitas lokal yang sudah lama berdiam di daerah tersebut.

Untuk menyingkirkan saingan tersebut, komunitas lokal akan mengajak mayoritas untuk mengusir dan mempersekusi pendatang dengan alasan bahwa mereka lebih berhak untuk berkuasa di daerah itu. Parahnya, hal ini biasanya mendapat dukungan otoritas setempat. 

Disebarkanlah pesan-pesan kebencian yang mendiskreditkan identitas tertentu dengan berbagai modus pembenaran. Mulai dari memandang rendah etnis/ suku tertentu, menebar fitnah bahwa mereka tidak menghargai adat istiadat lokal, hingga tuduhan mengganggu ketertiban dan sering berbuat onar. Padahal itu hanya bualan saja.

Intinya, mereka iri dan dengki. Orang-orang itu hanya tidak mampu memanfaatkan kesempatan sebaik mereka yang menjadi pendatang. Bukan karena perbedaan etnis, suku, agama, ras, atau hal lain yang menjadi pembenaran perilaku tercelanya, orang itu memang hatinya kotor dan dipenuhi kebencian.

Kondisi itu pernah diilustrasikan dengan baik oleh John Steinbeck dalam novelnya The Grapes of Wrath. Karya klasik itu menggambarkan bagaimana suatu komunitas yang mencari peruntungan di daerah lain akhirnya diusir dengan alasan kebencian tak berdasar. Menariknya, novel klasik itu mengungkapkan di antara sisi gelap kemanusiaan adalah kecenderungan manusia bahagia melihat manusia lain menderita. 

Rupanya, hari ini kita melihat kebencian yang sama diteriakkan oleh bangsa kita kepada saudara kandung setanah airnya sendiri. Entah apa yang ada di benak para pembenci itu sampai hati meneriaki saudara(i) mereka dengan nama binatang.

Tidak ada yang mengingkari bahwa citra saudara(i) kita dari Papua adalah salah satu representasi konsep kepribumian paling murni dari bangsa Indonesia. Persekusi terhadap mahasiswa(i) Papua di Jawa timur adalah pelecehan terhadap Ibu Pertiwi. Alasan yang dilontarkan pun semakin tidak masuk akal.

Kalau mereka kalian tuduh membakar Merah Putih lalu mengapa mereka masih bertahan sekolah dan kuliah di sana? Kalau kalian menganggap mereka suka berbuat onar, mengapa sampai hari ini kita belum mendengar kabar mereka yang datang dari berbagai daerah di tanah air dan menetap di tanah Papua diusir dan dipersekusi? Kalian hanya menganggap mereka hina, jujur saja!

Penyakit rasisme itu bagai sel kanker yang terus menerus menyerang sistem imunitas tubuh dan menghancurkan tubuh tempat hidup sendiri. Siapa pun yang terlibat berinteraksi dalam masyarakat majemuk akan mendapati betapa mudahnya suatu golongan mengeksploitasi isu sosial politik seperti etnik, suku, ras, dan gender sebagai pembenarannya membenci golongan yang lain.

Belum lagi jika mengusung ideologi dan agama; cakupannya akan semakin meluas. Saya sendiri curiga bahwa saudara(i) kita dari Papua ini terjebak dalam konflik projective identification. Kondisi yang menurut Melanie Klein menjadikan mereka kambing hitam dari golongan yang justru merasa paling nasionalis; paling murni konsepnya tentang NKRI.

Konsep serupa sering mengemuka sebagai bahan pidato para politisi yang sedang mencari simpati. Untuk meraup perolehan suara dukungan, mereka tidak segan mengorbankan keharmonisan hidup masyarakat majemuk dengan membesar-besarkan perbedaan di antara mereka.

Jualannya pun tetap sama, menunjukkan bagaimana komunitas lokal terasing di daerahnya sendiri. Sebab para pendatang dianggap merampas penghidupan mereka. Kemiskinan, kriminalitas, kekacauan, hingga isu gangguan ketertiban lingkungan sering dibahas dalam kerangka perbedaan dengan maksud menyudutkan komunitas tertentu.

Jebakan konflik serta ucapan kebencian bermuatan politis dapat membuat masyarakat majemuk yang sebelumnya baik-baik saja kemudian mengalihkan perhatian mereka kepada sesuatu yang sama sekali tidak perlu; mengungkit luka akibat konflik lama. David Gadd, yang meneliti fenomena rasisme yang diakibatkan oleh kedua hal tersebut, menyatakan bahwa luka akibat konflik di masa lampau akibat ketidakadilan, penindasan, dan marjinalisasi akan muncul kembali dalam moda yang sama.

Dendam itu akan terus terpendam sampai ada momen yang tepat untuk dilampiaskan. Membaku menjadi semacam ingatan melankolis akan pertikaian klasik. Hal ini akan semakin parah jika konflik lama itu tidak pernah diungkap secara terbuka dan tidak ada penyelesaian yang secara tegas melibatkan pihak-pihak yang bertikai.

Konsep dikotomi pribumi dan pendatang yang menjadi pemicu kekerasan rasial adalah konsep yang tidak berdasar. Migrasi suatu komunitas ke daerah baru sudah merupakan salah satu fenomena mendasar dari kehidupan sosial. Sebab hal itu menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup sekaligus kesempatan untuk beradaptasi di lingkungan yang baru; dua hal yang menentukan kelangsungan hidup spesies manusia.

Saudara-saudari kita dari Papua tidak bisa dianggap pendatang di bagian mana pun di negara ini. Demikian pula sebaliknya dan itu berlaku bagi seluruh warga negara dan di wilayah manapun dalam cakupan NKRI. Selama mereka patuh pada hukum dan ketentuan yang berlaku.

Fantasi Rasial: Pintu Menuju Kolonialisme

Delusi tentang kondisi ideal tentang identitas, sebagaimana disebutkan tadi, akan selalu melingkungi pikiran sang rasis. Karakteristik fisik seperti warna kulit, postur tubuh, hingga rambut menjadi pemicu perilaku tidak menyenangkan kepada orang lain. Bentuk dan model ideal yang ada di pikirannya dipaksakan untuk berlaku pada yang lain.

Itulah mengapa ketika berhadapan dengan etnis atau suku yang tidak sesuai dengan gambaran manusia idealnya, sang rasis akan melihat kecacatan yang harus disingkirkan karena mengancam eksistensi yang murni.

Untuk menjelaskan secara konkret isi pikiran rasisnya, ia akan merujuk pada sesuatu yang memiliki karakter yang tidak manusiawi seperti binatang. Itu lah mengapa sang rasis akan mengumpat kepada mereka yang mereka pandang rendah dengan nama binatang.

Mereka menyamakan kualitas dan karakteristik keduanya (binatang dan manusia yang diumpatnya) untuk menegaskan maksud dari pikiran rasis mereka. Demikian pula dengan umpatan lainnya seperti wajah jelek, bau tidak sedap, hingga tingkah-lakunya.

Percayalah, ketika mereka meneriaki mahasiswa(i) asal Papua dengan nama hewan, seperti itu pula perlakuan orang Belanda ketika pertama kali melihat orang Indonesia. Bukankah orang Belanda menganggap orang Indonesia sepeti binatang; jelek, bau, dan tidak mengerti tata krama?

Sehingga dengan demikian, tidak layak untuk diajak duduk bersama, berdampingan, bahkan berbicara? Ketika posisi sudah dinyatakan tidak setara, konsekuensinya hanya satu; mereka hanya cocok diperbudak saja. Aneh, kita berperilaku seperti penjajah yang dulunya kita benci. 

Pikiran rasial akan selalu menuntun pada kolonialisme. Eksploitasi terhadap tenaga mereka yang dipandang rendah untuk keuntungan sang rasis. Kalau tidak dapat tenaganya, paling tidak dapat dirampas sumber daya alamnya. Pada akhirnya, karena dianggap mengganggu ketertiban, mereka diusir dari tanahnya atau dimusnahkan. 

Seluruh catatan sejarah penjajahan selalu dimulai dengan merendahkan etnis, suku, bangsa yang tidak sesuai dengan gambaran ideal manusia menurut para penjajah itu. Seperti tanah Papua yang tidak hentinya dieksploitasi dan menghidupi banyak kalangan tapi toh tetap perhatian terhadap warga Papua selalu dianggap membebani keuangan negara.

Delusi ideal tentang supremasi identitas juga berasal dari pikiran narsistik. Mereka yang menderita narsisme akan menganggap diri dan identitas mereka sebagai pusat perhatian. Tak berhenti sampai di situ, mereka ingin semua orang mengakui hal tersebut.   

Narendra Keval, psikolog yang banyak menangani pasien dengan latar belakang rasisme, mengungkapkan alasan kenapa sang rasis selalu bersifat agresif secara verbal dengan umpatan dan hinaan itu karena hal tersebut merupakan pertahanan diri mereka yang sisi narsisnya dicederai oleh sesuatu yang tidak sesuai dengan gambaran idealnya.

Hanya dengan umpatan dan hinaan itu, ketika dilepaskan secara verbal, sang rasis yang narsis itu akan terpuaskan. Itulah mengapa para psikolog menyarankan untuk membalas para pengumpat dan penghina yang merendahkan etnis, suku, atau bangsa lain dengan menghiraukannya atau cukup dengan senyuman.

Sebab jika diladeni, itu berarti meladeni orang yang menderita gangguan mental. Ya, pikiran rasis menunjukkan gangguan psikologis dan agresi verbal serta persekusi terhadap yang lain merupakan indikatornya.

Fantasi yang dihadirkan oleh pikiran rasis akan memicu kekerasan secara fisik terhadap yang lain. Sebab jika kondisi merasa paling benar itu tidak cukup menarik perhatian orang lewat ujaran kebencian, ia akan menunjukkannya dengan kekerasan fisik secara terbuka.

Lihat saja mereka yang suka menghina atau menjelekkan penganut agama lain, mengusir etnis/ suku tertentu dari suatu daerah, atau mereka yang memandang perempuan hanya sebagai objek pelampiasan seksual. Mereka selalu memakai kekerasan sebagai afirmasi delusi pikiran ideal mereka.

Bagaimana hal itu bisa dipastikan? Pembuktiannya mudah saja; beri mereka perhatian. Semakin besar perhatian yang diberikan, semakin sorot kamera dan liputan berita mengarah kepada mereka maka akan mereka akan semakin terpuaskan. Dengan perhatian itu, aksi mereka akan semakin agresif ya karena merasa telah memenangkan simpati publik. Indikasi itu hanya ditemui pada mereka yang mengalami gangguan mental.

Sebab mereka yang waras tentu paham bahwa kebaikan itu universal sehingga tidak perlu didramatisir. Kebaikan akan menyelaraskan kehidupan dan menjaga harmoni dalam interaksi sesama makhluk. Tidak butuh perhatian; tidak memerlukan afirmasi. Kebaikan itu akan menyatukan kesempurnaan penciptaan lewat kepingan mosaik yang bertebaran dalam keberagaman.

Kebaikan akan mempertahankan keberagaman itu sebab dari situlah merekah keindahan. Sebab masing-masing dengan kodrat dan kemampuan kreasinya akan mewujudkan nilai-nilai keTuhanan dalam kontribusi kecil mereka.

Apa yang saya suguhkan merupakan merupakan respon dari tragedi dari persekusi saudara(i) setanah air kita di bumi pertiwi sendiri. Saya pun tidak tertarik untuk membahas latar peristiwanya karena saya tidak punya informasi memadai akan hal tersebut. Bukan kewenangan saya untuk menjelaskan sesuatu yang tidak saya pahami dengan baik.

Tulisan ini lahir dari pembacaan dan kajian terhadap beberapa literatur yang pernah membantu saya memahami kebuntuan argumen fasisme dan rasisme. Beberapa opini saya selipkan untuk menegaskan posisi yang saya ambil dalam peristiwa yang sempat saya sebutkan.

Mengenai latar peristiwa dari tragedi rasis yang menimpa bangsa kita saat kita merayakan peringatan kemerdekaan yang ke-74, saya sarankan untuk membaca tulisan yang terkait dengannya secara teliti dan disikapi dengan arif. Membandingkan beragam sumber dan ikut diskusi dan dialog yang membahas hal tersebut secara mendalam. 

Namun, satu hal yang saya yakini; peristiwa itu merupakan sebuah tragedi. Berawal dari potensi rasis masing-masing dari kita yang dilepaskan secara liar oleh sebagian dari kita. Ya, kita semua punya potensi mewujudkan rasisme itu menjadi kebencian dan kekerasan terhadap sesama.

Yang patut kita waspadai, seperti pesan kakanda Muhammad Al-Fayyadl, persekusi etnis/ suku yang dialami oleh saudara(i) kita dari Papua justru disambut dengan viralnya video salib Ustad Abdul Shomad. Perlu dicurigai, ada otak-otak fasis nan rasis yang ingin memanfaatkan situasi tersebut untuk mencederai harmoni keberagaman yang sudah terpatri di jiwa bangsa. Patut kita waspadai dengan arif memeriksa sekaligus menanggapi informasi yang sampai ke kita.

Mari menempuh jalan sebagian dari kita yang diberi anugerah untuk bisa melihat hal yang indah yang Tuhan titipkan di masing-masing ciptaanNYA. Mari ikuti jalan yang mereka tempuh; terus melakukan pembacaan atas segala bentuk penciptaan dan kreasi yang dilahirkan oleh ciptaan itu.

Dengan demikian, kita bisa lebih mendekatkan diri dan memahami Tuhan. Keberagaman jangan digali perbedaannya. Gali keindahan dan keunikan yang tercipta darinya. NKRI masih harga mati!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun