Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Ayah Menyuruh Saya Cari Uang, tapi Dia Sendiri Malah Tiduran"

12 November 2019   19:13 Diperbarui: 13 November 2019   05:02 5159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi anak putus sekolah. (foto: KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO)

Tadi pagi. 

Di belakang sebuah rumah, saya menemukan seorang anak laki-laki sedang menangis terisak. Kedua telapak tangannya ditangkupkan pada wajahnya.

Walaupun membelakangi saya, karena anak itu menghadap ke tembok rumah, tapi dari isaknya saya menduga sepertinya sedang merasakan duka yang dalam.

Anak itu bernama Syaiful. Anak dari Maisyaroh dan almarhum Zainal. Baru tamat SD tahun lalu. Bisa jadi usianya sekarang ini sekitar 14 tahun. Seharusnya saat ini dia sudah duduk di bangku SMP sebagaimana teman sebayanya.

Tapi oleh ibunya tidak diperkenankan melanjutkan sekolah. Alasannya tidak mampu membiayainya. Padahal saya sendiri sudah berusaha untuk membujuknya, agar Syaiful disekolahkan. Sekalipun dengan dibekali surat keterangan tidak mampu. Alias miskin.

Hanya saja ibunya tetap tak bergeming. Selain karena tidak mampu, adik-adik Syaiful yang jumlahnya tujuh orang, empat orang dari Zainal, suaminya yang meninggal saat Syaiful duduk di kelas lima, ditambah lagi dua orang dari suaminya yang sekarang, butuh biaya juga.

Begitu alasannya. Saya pun angkat tangan.

Sebelum saya buka mulut, maksudnya untuk menegur anak tersebut, mata saya menyelidik ke sekitar. Jangan-jangan anak itu habis berkelahi dengan temannya, atawa mungkin juga dimarahi orang tuanya.

Sebagai ketua RT, saya terpanggil untuk mengetahui duduk perkaranya. Bukankah setiap anak-anak harus mendapatkan perlindungan?

Oleh karena itu saya pun menghampirinya.

"Ful, kenapa nangis?" tanya saya dengan suara yang diusahakan selembut mungkin. Sebagaimana laiknya seorang ayah pada anaknya. Tangan kanan pun secara spontan mengusap kepalanya.

Perlahan Syaiful menoleh sambil sesunggukan. Air matanya diusap-usapnya dengan tangannya sendiri.

"Saya... Saya dimarahi Kang Udin..." katanya kemudian. Saya mafhum. Yang disebut Kang Udin oleh anak itu adalah ayah tirinya.

"Saya diomeli sebagai anak pemalas, Pak RT. Saya disuruh bekerja mencari uang ke kota..." lanjutnya.

"Padahal Pak RT sendiri tahu. Kang Udin pun selama menjadi suami Emak saya tidak pernah mau cari nafkah untuk keluarga. Saban hari kerjanya hanya luntang-lantung, dan tiduran...."

Mendengar celoteh Syaiful, saya hanya mampu menghela nafas.

Memang benar. Kang Udin, ayah tiri anak itu, selama tiga tahun memperistri Maisyaroh tidak jelas pekerjaannya.

Ilustrasi (Sumber:Kompas.com)
Ilustrasi (Sumber:Kompas.com)
Padahal ketika hendak menikah, saat melapor kepada saya, Kang Udin mengaku sebagai seorang pemborong bangunan. Di kampung kami biasa disebut: Anemer.

Saya ikut gembira mendengarnya saat itu, tentu saja. Paling tidak keluarga Maisyaroh bakal mendapat penanggung jawab lagi sepeninggal Zainal. Demikian juga harta peninggalannya akan ada yang mengurusnya.

Selama hidupnya Zainal termasuk sukses usahanya. Sebagai tukang kredit, Zainal berhasil memiliki harta yang lumayan. Baik berupa tanah sawah, kebun, maupun rumah kontrakan di kota.

Hanya saja setelah meninggal dunia lantaran menderita penyakit gagal ginjal, secara perlahan-lahan harta peninggalannya satu per satu dijual oleh Maisyaroh.

Sepengetahuan saya, yang pertama dilegonya adalah mobil keluarga. Bisa jadi untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari dengan anak yang masih kecil-kecil sebanyak lima orang. Sementara usaha kridit Zainal praktis bangkrut. Karena tidak ada yang melanjutkannya.

Selang beberapa bulan Zainal jadi penghuni komplek pemakaman, Maisyaroh menikah lagi dengan Kang Udin. Awal pertemuannya di tempat wisata yang terletak di desa tetangga.

Sungguh. Sejak pertama bertemu dengan yang namanya Kang Udin, saya merasa tidak respek,  Selain bicaranya songong alias kasar, juga karena sombongnya.

Masa tidak ditanya pun dia suka mengaku-ngaku memiliki banyak uang. Dari hasil pekerjaannya sebagai pemborong bangunan. Katanya.

Tapi ternyata selama empat tahun berumah tangga dengan Maisyaroh, kami -- warga di sekitarnya tidak pernah melihat Kang Udin berangkat kerja.

Atawa paling tidak mengerjakan sesuatu yang sesuai dengan pekerjaan yang diakuinya itu. sekalinya ada kerusakan rumah Maisyaroh yang ia tinggali, tetap saja menyuruh tetangga yang dikenal sebagai tukang.

Malahan tidak hanya itu saja. Harta peninggalan Zainal, selama ini sudah banyak berpindah tangan ke orang lain. Untuk kebutuhan makan sehari-hari. Begitu kata Maisyaroh. Bahkan ketika melahirkan anak yang ke enam, anak pertama dari Udin, sebagai ketua RT saya pun terpaksa turun tangan.

Ternyata untuk biaya persalinan saja Kang Udin tidak mampu membayarnya. Apa boleh buat jajaran pengurus RT pun berembuk. Lalu dibuatkan surat keterangan tidak mampu.

Saya sendiri menemui bidan yang membantu persalinannya. Meminta keringanan biaya. Karena uang yang akan saya bayarkan pun adalah uang yang diambil dari kas RT.

Hadeuh. Dasar pembohong. Ya, bisa jadi Maisyaroh sendiri sudah tertipu oleh manusia yang satu ini.

Sekarang bikin masalah lagi. Anak di bawah umur sudah disuruh bekerja mencari nafkah. Ayah tiri macam apa dia. Sementara dia sendiri malah berleha-leha menikmati harta anak yatim.

Padahal biasanya. Ya, biasanya seorang ayah tiri akan lebih sayang kepada anak tirinya, bila dibandingkan dengan ibu tiri. Sementara yang satu ini justru seperti itu.

Sepertinya di Hari Ayah Nasional yang jatuh pada hari ini, memang tidak layak seorang Kang Udin disebut sebagai seorang Ayah oleh Syaiful.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun