Mohon tunggu...
AGUS SJAFARI
AGUS SJAFARI Mohon Tunggu... Dosen - DOSEN FISIP UNTIRTA, KOLOMNIS, PEMERHATI MASALAH SOSIAL DAN PEMERINTAHAN

Mengajar, menulis, olah raga, dan seni khususnya main guitar dan nyanyi merupakan hoby saya.. topik tentang sosial, politik, dan pemerintahan merupakan favorit saya..

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Idul Fitri dan Halal Bil Halal Politik

19 April 2024   14:07 Diperbarui: 19 April 2024   14:13 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

IDUL FITRI DAN HALAL BIL HALAL POLITIK

Oleh : Agus Sjafari*

 

Seluruh ummat muslim di dunia ketika mengakhiri ibadah puasa di bulan romadhan akan diakhiri dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri, demikian juga ummat muslim di Indonesia. Mengutip beberapa referensi yang ditulis oleh beberapa ulama NU bahwa Idul Fitri bukan sekadar tentang hari perayaan, pakaian baru, dan hal-hal lain yang serba baru. Meski pada dasarnya umat muslim disunnahkan untuk menggunakan pakaian baru, tetapi secara hakikat, bukan itu makna sesungguhnya dari Hari Raya Idul Fitri. Lebih dari itu, Idul Fitri dimaknai sebagai bentuk refleksi diri, bentuk rasa syukur, dan kegembiraan (detik.com, 2024). Dalam hal ini, refleksi diri berarti setiap umat muslim dianjurkan untuk introspeksi diri dan kembali kepada fitrah Islamiyah. Artinya, umat muslim diharapkan dapat kembali suci setelah dibersihkan dengan puasa Ramadan selama 1 bulan penuh, yang kemudian disempurnakan dengan mengeluarkan zakat fitrah sebagai bentuk rasa syukur dan berbagi kepada sesama, serta saling memaafkan atas kesalahan yang pernah terjadi.

Hal yang menarik yang terjadi pada masyarakat di Indonesia bahwa di dalam merayakan hari raya idul fitri dilanjutkan dengan istilah "tradisi syawalan" atau yang lebih dikenal dengan istilah "halal bil halal". Istilah halal bil halal banyak digunakan masyarakat Indonesia saat berkumpul dengan sanak saudara dan kerabat seusai perayaan Idul Fitri. Meskipun mengandung unsur bahasa Arab, kata halal bil halal tidak ditemukan dalam kamus Arab modern maupun klasik. Halal bil halal hanya merupakan penyebutan khusus terhadap sebuah tradisi yang dikembangkan secara mandiri oleh masyarakat muslim Indonesia, dengan makna menguraikan "kekusutan tali persaudaraan" (Rusdiana, dalam uinsgd.ac.id : 2022).

Penerapan dari halal bil halal dalam momen hari raya idul fitri lebih kepada penerapan kesholehan sosial seorang muslim guna memperbanyak tali silaturrahmi dengan sanak saudara, keluarga besar, serta para kolega guna sama -- sama saling meminta maaf dan memberi maaf dengan maksud untuk saling menghapus kesalahan -- kesalahan yang diperbuat pada masa -- masa yang lalu.

Adakah Korelasinya Dengan Politik?

Kegiatan puasa selama bulan romadhan merupakan kegiatan seseorang untuk menjaga hawa nafsu untuk melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT serta dianjurkan untuk memperbanyak ibadah yang ganjarannya jauh lebih besar dibandingkan dengan bulan -- bulan lainnya. Keberhasilan seorang muslim menahan nafsu dan memperbanyak ibadah pada akhirnya diganjar dengan pahala yang berlipat -- lipat oleh Allah SWT, diibaratkan ketika hari raya idul fitri ia mendapatkan kemenangan dan seolah -- olah terlahir kembali sebagai bayi yang suci dikarenakan dosanya diampuni serta mendapatkan pahala yang berlimpah sebagai sebuah kemenangan sejati dari seorang muslim.

Aktivitas politik sebenarnya tidak ubahnya sebagai sebagai upaya dari seorang aktivis politik dan partai politik yang memperjuangkan dengan segala pengorbanannya baik pikiran, tenaga, biaya, jaringan guna memperoleh kekuasaan politik dalam bentuk jabatan publik entah itu sebagai legislator dan pejabat eksekutif baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Keterpilihan seorang aktivis politik dan partainya dalam mendudukkan dirinya sebagai pejabat publik merupakan sebuah ganjaran apabila dilakukan dengan penuh pengabdian dan pengorbanan untuk kepentingan rakyat dan bangsanya.

Aktivitas politik pada dasarnya merupakan sebuah aktivitas yang suci dan memiliki tujuan yang sangat mulia apabila dilakukan dengan penuh etika dengan menjunjung tinggi moralitas yang tinggi.  Dalam prakteknya kita menemukan bahwa aktivitas politik dilakukan dengan cara -- cara yang kotor guna memperoleh kekuasaan dan jabatan politik. Istilah "yang penting berkuasa dengan segala cara" menjadi sesuatu yang lumrah yang dipraktekkan oleh para politisi kita selama ini.

Idealnya para aktivis politik perlu mempertanyakan kembali niat berpolitik dan tujuan politik itu sendiri. Ketika niat berpolitik hanya untuk mencari kekuasaan dan kekayaan semata, biasanya ketika sudah memperoleh jabatan politiknya maka ia akan menjalankan kekuasaannya tersebut dengan "ugal -- ugalan" tanpa benteng etika dan moral yang kuat. Tujuan politik sendiri pada dasarnya suci, karena dalam politik terkandung tujuan mulia untuk mensejahterakan rakyat serta menciptakan keadilan dalam berbangsa dan bernegara.

Idealnya bahwa politik itu bukan sesuatu yang "mewah" melainkan politik itu penuh "pengorbanan". Para founding father kita sudah mempraktekkan substansi dari politik itu sendiri. Mereka hidup sangat sederhana dan juga banyak berkorban serta "berdarah darah" dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsanya dari ketertindasan negara lain. Makna politik berubah seratus delapan puluh derajat sejak era orde baru berkuasa dengan sangat lama dan penuh dengan fasilitas yang sangat mewah yang didapatkan dengan model pemerintahan yang koruptif.

Ketika seorang aktivis politik memandang bahwa kekuasaan itu adalah sesuatu yang mewah dan tidak memandang bahwa kekuasaan itu sebagai amanah, maka mereka akan menerapkan kekuasaan dengan cara -- cara koruptif. Sedangkan apabila politik didudukkan sebagai sebuah amanah, maka ia akan menerapkan kekuasaan politiknya dengan penuh etika dan moral yang menuntunnya.

Politik juga pada dasarnya adalah sebuah cara dan bukan tujuan. Ketika politik didudukan sebagai sebuah cara, maka Ketika kekuasaan sudah diperoleh maka ia tidak berhenti di situ saja, melainkan terus memainkan dan memperjuangkan kekuasaan tersebut untuk tujuan yang suci dan mulia yaitu kesejahteraan dan keadilan untuk semua rakyat Indonesia. Dan sebaliknya, ketika politik didudukkan sebagai tujuan maka kekuasaan akan menjadi "terminal terakhir" dari perjuangan politik. Sebagai terminal terakhir, ia akan memainkan kekuasaan dengan cara -- cara yang koruptif. Pada akhirnya kita menengok banyak politisi kita yang berakhir dengan su'ul khotimah yaitu mengakhiri kehidupan berpolitiknya dengan akhir yang buruk yaitu menjadi tahanan KPK karena kasus korupsinya atau penyalahgunaan kekuasaannya.

"Kesucian" Pasca Pilpres

Pemilu khususnya pilpres yang telah lewat pada bulan Pebruari yang lalu belum dapat dikategorikan sebagai aktivitas politik yang suci, bahkan ditengarai penuh dengan praktek yang kotor dan curang. Kalau dihubungkan dengan makna idul fitri di atas, politik kita belum mampu melahirkan tujuan politik yang suci. Bergulirnya sengketa  pilpres di Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa pilpres kita dikategorikan sebagai aktivitas politik yang penuh dengan dosa politik. Para hakim MK tak ubahnya sebagai "malaikat" yang diturunkan oleh Tuhan di bumi Indonesia untuk mengadili dan "menghisap" dosa -- dosa politik yang dilakukan para politisi selama perhelatan pilpres baik sebelum pencoblosan, selama pencoblosan, maupun setelah pencoblosan.

Sebagai malaikat yang diturunkan Tuhan di bumi Indonesia, maka para para pengadil MK tersebut membawa misi Tuhan guna mengadili seadil -- adilnya. Suara hati mereka para pengadil MK itu diberkati "nilai -- nilai ilahiyah" guna memutus sengketa pilpres yang berkedilan untuk semua pihak. Artinya bahwa selayaknya hasil keputusan MK itu membawa kemaslahatan bagi ummat manusia di Indonesia.

Implikasi dari putusan MK bahwa semua pihak harus dapat menerima keputusan tersebut dan perlu memulai aktivitas politik dan pemerintahan selanjutnya. Makna fitri dan halal bil halal akan sangat relevan pasca putusan MK ini. Setelah melalui pangadilan di MK, maka hasil pilpres selayaknya kembali ke kesuciannya. Artinya pemenang dalam pilpres sudah memiliki legalitas dan legitimasi yang sangat kuat. Dalam konteks keislaman ditegaskan segala sesuatu yang sebelumnya haram selanjutnya menjadi halal, tinggal bagaimana para elit politik mampu memaknai hasil keputusan MK tersebut.

Perpolitikan di Indonesia merupakan praktek politik berbangsa yang sangat "unik" yang berbeda dengan perpolitikan di negara manapun di dunia. Istilah politik gotong -- royong, politik pertemanan, politik merangkul, politik silaturrahmi, dan politik rekonsiliasi  menjadi sesuatu yang sangat lumrah dipraktekkan oleh para elit politik kita. Politik ala Indonesia sangatlah cair, tidak ada batasan "hitam putih" dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Tidak berlaku pakem check and balance yang ekstrim dipraktekkan dalam kamus perpolitikan di Indonesia. Pada satu sisi kondisi tersebut merugikan praktek berbangsa dan bernegara yang pada akhirnya menyuburkan praktek KKN, dan pada sisi lain dianggap menguntungkan dikarenakan suasana perpolitikan kita yang "adem ayem" dan jauh dari konflik pertikaian politik yang mengarah kepada perpecahan bangsa.

Pada akhirnya bahwa pasca Keputusan MK nanti para elit politik dan elit partai politik perlu mempraktekkan silaturrahmi politik guna menciptakan pemerintahan yang kondusif yang benar -- benar mampu mempraktekkan kekuasaan politik yang penuh kesucian seperti yang ada dalam makna fitri dan halal bil halal di atas.

*Penulis adalah Dosen FISIP Untirta & Pemerhati Masalah Sosial Pemerintahan        

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun