Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pelonggaran PSBB, antara Percaya Diri atau Frustasi Ekonomi?

12 Mei 2020   10:20 Diperbarui: 13 Mei 2020   05:14 1945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akankah PSBB jadi dilonggarkan? | Sumber gambar : kompas.com

Tukang ojek di wilayah dekat rumah kerabat saya beberapa kali mengeluhkan sepinya penumpang seiring larangan transportasi umum melintas. Biasanya bus antar kota menjadi andalan mereka untuk mengais nafkah, tetapi belakangan mendapatkan satu penumpang saja dalam sehari sudah sangat-sangat luar biasa bagi mereka. 

Demikian halnya dengan para sopir angkot yang biasanya mangkal di kawasan pabrik untuk mengangkut karyawan borongan. Dengan terimbasnya operasional produksi akibat lesunya penjualan, mau tidak mau para karyawan borongan juga diliburkan. Dan para sopir angkot pun kehilangan penumpangnya.

Pemerintah dihadapkan pada realitas ekonomi yang semakin terpuruk akibat pandemi COVID-19. Sepertinya alasan inilah yang jauh lebih masuk akal untuk dijadikan rujukan pemerintah dalam melonggarkan kebijakan PSBB ketimbang kepercayaan diri bahwa pandemi sudah mulai melandai. Karena memang sejauh ini angka terinfeksi masih terus bertambah. Demikian juga dengan angka kematian. 

PSBB diberlakukan saja masih tidak cukup membantu menekan laju persebaran COVID-19, apalagi PSBB dilonggarkan? Masalahnya jika tetap dengan kondisi sekarang perekonomian bisa makin terpuruk. Angka pengangguran bisa melonjak. Kemiskinan meningkat. Sebuah dilema sebenarnya bagi para pemangku kebijakan.

Sejujurnya saya pribadi masih bingung jikalau diharuskan memilih untuk memprioritaskan salah satu diantara perekonomian atau kesehatan publik. Kesehatan menyangkut nyawa manusia. 

Perekonomian secara tidak langsung juga berimbas pada hal serupa. Kita tentu ingat kasus sebuah keluarga di wilayah Banten yang terpaksa menahan lapar selama 2 hari tanpa makan dan hanya meminum air putih saja karena tidak memiliki uang samasekali. 

Bukan tidak mungkin masih ada lagi diluaran sana orang-orang dengan situasi serupa. Terasa begitu sulit saat kita diharuskan memilihsalah satu dari dua hal yang semestinya bisa dipilih kedua-duanya.

Tidak bisakah kita memilih untuk tetap membatasi jarak sosial dan segenap kebijakan pembatasan interaksi antar manusia agar persebaran bisa ditekan sembari tetap memastikan roda perekonomian tetap berjalan secara normal? 

Sejauh ini hanya bisnis yang mengedepankan aspek digitalisasi saja yang menunjukkan eksistensinya. Sektor-sektor riil yang menuntut pergerakan langsung tubuh manusia masih tetap mengalami desakan yang luar biasa. 

Sukar untuk bergerak lincah seperti sediakala. Andaikan kita memiliki tubuh buatan seperti pada film "Surrogates", mungkin kita akan tetap bisa menjalankan pekerjaan di luar ruangan seperti biasa tanpa harus khawatir terinfeksi COVID-19. Sayangnya sejauh ini teknologi semacam itu masih belum tersedia di pasaran.

Akhirnya kita hanya bisa memilih antara risiko ekonomi atau risiko kesehatan. Mengutip pernyataan Dahlan Iskan, kita berupaya membangun kembali reruntuhan akibat kebakaran sedangkan diatas api yang masih terus menyala. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun