Mohon tunggu...
A Damanhuri
A Damanhuri Mohon Tunggu... Jurnalis - Gemar bersosial dan penikmat kopi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Mengucapkan sebuah kata sejati, adalah mengubah dunia. Dalam kata ditemukan dua dimensi: Refleksi dan Tindakan". (Paulo Freire)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mesin Tik Desa Padang Toboh Itu yang Mengantarkanku Jadi Wartawan

27 Mei 2020   00:35 Diperbarui: 27 Mei 2020   03:27 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mesin ketik ini hanya sebagian kecil digunakan. Dunia komputer dan digitalisasi yang merambah saat ini membuat mesin ketik ini jadi barang langka. (foto dok my Typewiter)

Di lingkungan Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan ada OSIP. Yakni Organisasi Santri Intra Pesantren. Aku sempat menjabat Ketua OSIP itu satu periode. Sebagai bahan bacaan umum, pesantren berlangganan Media Dahwah yang terbit sebulan sekali. 

Bermula dari acap membaca itu, aku jadi terbiasa membaca koran dan majalah. Setiap Selasa aku ke Lubuk Alung membeli Koran Republika dan Tabloid Adil. Dua koran itu yang sering aku baca saat di Lubuk Pandan. Rebublika yang penuh dengan nuansa Islami menjadi kegemaran aku dalam berinteraksi dengan berbagai tulisan yang diolah dan dirangkai oleh penulis-penulis hebat. 

Keseringan membaca, timbul niat dalam hati, kapan ya aku bisa menulis di koran? Itu kata-kata yang acap terlintas dalam angan-anganku.

Zaman itu adik Abak, Amiruddin yang tamat MTI Batang Kabung dan IAIN Imam Bonjol Padang sedang menjadi wartawan Haluan. Motivasiku untuk menulis dan jadi wartawan terus menyeruak, tatkala melihat Zakirman Tanjung yang setiap Jumat melakukan sembahyang seminggu sekali itu di kampungnya; Masjid Raya Lubuk Pandan. 

Sebelum sembahyang, pengurus masjid mengumpulkan infak dari jamaah. "Zakirman Tanjung, wartawan Canang seribu rupiah," kata pengurus. Aku lihat dan aku perhatikan terus dia. Dalam hatiku berkata, wartawan bapak ini rupanya. Dan itu hampir tiap minggu aku perhatikan.

Sementara kecanduan membaca koran dan majalah, termasuk juga tabloid semakin aku gemari. Ibaratnya, rumah tampak jalan tak tahu. Itu barangkali keinginanku tentang pekerjaan tulis menulis tersebut. 

Impian menulis itu terwujud, setelah aku kawin, dan melakukan banyak pekerjaan pula sebelumnya. Aku sempat jadi tukang cetak foto kilat lima menit siap di Pasar Ulak Karang Padang. Sempat pula jadi kuli bangunan di Mentawai, dan pernah pula sebulan mengajar anak mengaji di Kandis, Riau.

Tahun 1999 setelah Pemilu, aku ditawari Pak Amiruddin mengantarkan koran Padang Pos seminggu sekali. Ada sekitar 150 orang langganan yang harus diantarkan. Mulai dari Batang Anai sampai Batang Gasan. Dari Ulakan terus ke Kayutanam. Kota Pariaman terus ke VII Koto Sungai Sariak lama. 

Sambil mengantar koran itulah keinginan menulis yang tumbuh sejak di pesantren itu mulai aku wujudkan. Perlahan aku mulai menulis opini. Mulai pertama akhirnya ketagihan, dan lama-lama sudah jadi kebiasaan. Waktu HUT pertama Padang Pos, aku termasuk loper berpretasi, sehingga dapat penghargaan pada malam anugrah yang diadakan di Pangeran Hotel itu.

Kemudian Padang Pos mengadakan kemah bakti di Sungai Limau. Hadir juga Pak Infai yang saat itu menjabat Pemimpin Perusahaan Padang Pos. Dia langsung sebut namaku. "Damanhuri ya," katanya. Iya pak," kata aku. 

Sekarang coba mulai menulis berita. Jangan opini terus. Biar jadi wartawan pula. Pak Infai memberikan contoh tekhnis penulisan berita. Dengan siapa harus wawancara dan konfirmasi. Diberikannya contoh tentang taman di Pantai Arta Sungai Limau. 

Lalu aku coba dengan topik yang lain, yang menurut seleraku layak jadi publikasi berita. Saat itu aku belum pakai komputer. Hanya numpang ngetik di Kantor Desa Padang Toboh Ulakan, dengan mesin tik yang cukup tua. Pernah mesin ketik itu aku bawa ke Surau Kampung Paneh, tempat aku mengajar anak-anak mengaji dan sekalian tempat tinggal.

Mesin ketik tua Desa Padang Toboh itu pertama kali membuat aku terjun dan menggandrungi dunia wartawan. Dunia yang membuka cakrawala, membuat banyak jejaring sosial. Mesin ketik itu bukan sekali dua aku pakai, tetapi berbulan-bulan. 

Dan itu awalnya, ada hubungan baik dengan Kepala Desa Syahiruddin dan Sekretaris-nya Syahayar. Apalagi kala itu kedua tokoh ini sering pula muncul nama dan kegiatannya di koran Padang Pos, tempat aku memulai dunia yang penuh dengan tantangan tersebut.

Sedang enak jadi wartawan, relasi mulai bertambah, Padang Pos pun terseok-seok terbitnya. Surat tugas aku sebagai wartawan langsung ditandatangani Basril Basyar sebagai Pemred koran itu. 

Lalu datang pengangguran, karena Padang Pos sudah dianggap tak lagi rutin terbitnya tiap pekan. Datang Armaidi Tanjung menawari aku jadi wartawan Harian Semangat Demokrasi, yang kala itu sudah terbit tiga kali seminggu. Pemred-nya Pak Infai yang aku kenal sejak di Padang Pos.

Tak berselang lama, Semangat Demokrasi habis. Aku diajak menjadi wartawan Media Nusantara untuk Pariaman bersama Netty Herawati. Bos koran ini Asli Khaidir. Hanya setahun, Media Nusantara berganti nama dengan Media Sumbar. Anehnya, berganti bos besarnya, Media Sumbar pun tak mampu rutin terbit. 

Sampai tahun 2005 aku di Media Sumbar, sempat raun-raun ke Malaysia dan Singapura tahun 2004 bersama Pemkab Padang Pariaman. Tak berselang lama di Media Sumbar, aku diminta bergabung dengan Publik. Tabloid yang dipimpin AA Datuak Rajo Djohan ini aku masuki untuk kepala perwakilan Pariaman. 

Sama halnya dengan Media Nusantara dan Media Sumbar, di Publik aku juga mengantarkan berita seminggu sekali, sambil mengantarkan uang tagihan. Untuk Media Sumbar dan Publik aku menjabat wartawan dan kepala perwakilan Pariaman.

Hanya dua tahun aku di Publik. Sempat raun sekali ke Bali bersama wartawan dan Humas Pemkab Padang Pariaman tahun 2006, lalu masuk ke Harian Bersama terbitan Medan. Di koran ini aku mengisi seminggu sekali. 

Dalam mengisi Harian Bersama ini, aku juga ikut membantu A Basril H di Serambi Pos Pariaman. Sampai kode namaku dimasukkan bergandengan dengan nama Abe. Sekali seminggu aku mengantarkan mendiang Abe ke kantor Serambi di Tabing, Padang. 

November 2008, Gusnaldi Saman yang menjadi Korda Harian Singgalang di Pariaman ditarik ke redaksi menjadi Korlip. Sebelum ke Padang dia menghubungi aku yang saat itu sedang dalam perjalanan dari Pasaman Barat ke Lubuk Sikaping. Kata dia, ada peluang masuk ke Singgalang, apa masih ingin jadi wartawan, kata dia dalam telp.

Aku langsung meresponnya dengan mengantarkan lamaran tiga hari setelah ditelp tersebut. Akhirnya awal Desember 2008 sampai sekarang aku resmi jadi wartawan Singgalang untuk daerah liputan Pariaman.

Mengambil Keputusan yang Tepat Saat Transisi

Bermula dari kurangnya belajar di Padang Magek, lantaran guru tuo acap pergi ke luar daerah, aku memutuskan untuk pindah ke Lubuk Pandan. Sebelumnya, Sudirman, senior aku telah duluan pindah ke Pesantren Madrasatul 'Ulum itu. 

Untuk tahu Lubuk Pandan, sengaja aku ajak Tuo Sumardi mengantarkan aku. Kami naik PO Terang Bulan dari rumahnya di Sungai Sariak. Turun di Kampung Bonai, Parit Malintang, kami menyusuri areal persawahan. 

Sekitar setengah jam jalan kaki, kami tiba di komplek pesantren yang didirikan Syekh Abdullah Aminuddin yang terkenal dengan sebutan Tuanku Shaliah Pengka itu.

Di sana bersua para guru tuo yang sedang istirahat siang. Buya Tuanku Shaliah sedang keluar. Sebentar ngomong, kami pamit lagi pulang. Sampai di Kampung Bonai, Tuo Sumardi yang tukang servis jam itu terus ke Padang. Aku sendiri yang terus pulang kampung. 

Sampai di rumah aku ceritakan ke Abak tentang Lubuk Pandan yang baru saja dikunjungi sebentar itu. Tak berselang lama, aku datang ke Lubuk Pandan untuk melanjutkan belajar. Di sana ada dunsanak aku. Amiruddin namanya. Dia orang Ampalu yang telah lama mengaji di situ.

Setelah seminggu aku di Lubuk Pandan, datang Abak membawa rantang untuk mendoa. Sebab, mendoa adalah tradisi dalam menyerahkan anak ke pesantren ala surau. 

Aku tinggal di Anjung Jaya. Waktu aku mulai di Lubuk Pandan, Amiruddin sedang jadi Marapulai Tafsir. Malam hari dia mengulang kaji sama Tuo Jakfar. Aku ikuti pula dalam menyimak tiap malam. 

Paginya aku ikut mengaji di Surau Belakang yang terkenal dengan sebutan Surau Kapalo Sawah bersama Tuo Lukman. Sedangkan siang hari aku mengaji sama Tuo Bujang Albar. Sama halnya dengan Padang Magek, di Lubuk Pandan ada pula latihan dakwah seminggu sekali, yang kami sebut dengan program muhadarah.

H. Iskandar Tuanku Mudo, sang pimpinan pesantren baru saja terpilih jadi anggota DPRD Padang Pariaman dari Golkar. Saat aku mulai di Lubuk Pandan itu tahun 1993 akan ada pergantian Bupati Padang Pariaman. Buya Iskandar, anggota dewan yang akan memenangkan Nasrul Syahrun. 

Saat itu bupati masih dipilih oleh anggota dewan terhormat. Nasrul Syahrun berhasil menang jadi bupati. Kunjungan kerja kedua kalinya dilakukan bupati itu ke Lubuk Pandan. Dia terkesan dengan guru besar pesantren; Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah. Kunjungan bupati yang difasilitasi Buya Iskandar itu dimanfaatkan dengan acara peringatan Maulid Nabi. Malamnya diadakan acara shalawat dulang.

Sehabis Amiruddin jadi Marapulai Tafsir, bulan puasanya aku ikut tadarus yang memilih marapulai yang akan dimulai pasca lebaran. Namun, saat itu aku belum terpilih karena baru barangkali. Saat itu yang terpilih, Asrizal, Ardindas, dan lainnya. 

Barulah sehabis rombongan ini aku yang jadi marapulai, tepatnya tahun 1995. Dan aku marapulai terakhir yang ijazahnya ditandatangani langsung oleh Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah. Buya wafat tahun 1996, setahun setelah aku tamat Marapulai Tafsir.

Buya wafat di RS Ibnu Sina Padang. Aku dan Ardindas santri yang disuruh pulang duluan dari rumah sakit, karena waktu itu belum ada telp dan HP yang bisa menghubungkan komunikasi. 

Lima menit kami tiba di surau, bunyi serine ambulan meraung-raung. Orang banyak berdatangan. Dari pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan, MTI Batang Kabung dan pesantren lainnya ikut melayat, melihat dan memberikan penghormatan terakhir kepada Buya. Begitu juga alumni dari berbagai daerah berdatangan ketika mendengar kabar gurunya telah pergi untuk selamanya. 

Sampai-sampai anjung penuh oleh yang ikut menshalatkan. Shalat jenazah diimani anaknya; Amiruddin Shaleh. Termasuk pesan dan kesan juga disampaikan anak Buya yang tua itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun