Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Teologi Tidur: Bukan Menyongsong Ketidakpastian

25 April 2024   15:49 Diperbarui: 25 April 2024   15:51 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo


Gereja Katolik melalui beberapa ensikliknya (surat Paus sebagai pemimpin Gereja Katolik sedunia), mulai dari Pacem in Terris, Rerum Novarum, hingga Laborem Exercens, kontinu mendorong hak beristirahat secara layak sebagai aspek penting dalam martabat manusia.  

Di sisi lain, istirahat seakan-akan hanya menjadi suatu keharusan bagi manusia karena kebutuhan fisik. Kita pun mudah menemukan banyak penelitian yang menunjukkan pentingnya istirahat (dan tidur) dalam meningkatkan produktivitas kerja. Pekerja yang cukup tidur dan rekreasi, kesehatan fisik dan mentalnya akan lebih baik. Demikianlah perusahaan menjadi lebih untung dan kerja lebih produktif. Penelitian-penelitian ini memberi validasi pada pengurangan jam kerja di negara-negara Eropa.

Pieper, seorang filsuf Jerman, berkata bahwa konsep ini telah mereduksi istirahat sebagai pelayan dari kerja. Padahal, menurutnya, istirahat adalah suatu kondisi yang secara nilai dan hakikatnya, independen dari kerja.  Bila kita memeriksa peristiwa penciptaan, istirahat akan menggenapi kerja. Istirahat (baca tidur) memberi dampak positif bagi kemampuan kerja seseorang meski itu dilihat sebagai efek samping.

Istirahat dan tidur merupakan salah satu fitur manusia dan kemanusiaan. Tanpanya, manusia akan kehilangan kemanusiaannya. Perlu dicatat bahwa Pieper berbicara mengenai istirahat dalam arti kontemplatif. Tidak serta-merta berarti tidur.

Barangkali kita pernah berada dalam situasi tidak dapat tidur karena ada "ancaman". Misalnya pindah ke lokasi baru dan tidak dikenal. Di sini, tidur dilihat sebagai suatu kondisi ketika manusia diharuskan kehilangan kesadaran dan kontrol atas dirinya.

Tidur secara signifikan membuat kita kehilangan kemampuan penginderaan kita seperti terhadap suara, pandangan, maupun sentuhan. Maka tidur sebenarnya seperti menceburkan diri dalam lubang ketidakpastian yang paling dalam. Ketika tidur, kita melepaskan diri sepenuhnya kepada "Ia yang tidak terlelap dan tidak tertidur: Penjaga Israel" (Mazmur 121:4).

Dalam Markus 4:36-41, Yesus tertidur tenang di kapal saat badai menerjang. Satu konflik berkecamuk di antara murid-murid. Kala itu Yesus mengajak mereka untuk menyeberang danau Galilea. Mereka akan menuju suatu wilayah baru yang tak dikenal, melewati danau, yang sewaktu-waktu dapat diterpa badai. Ada kegelisahan dalam diri murid-murid atas ketidakpastian ini. Namun kegelisahan itu tidak dialami oleh Yesus, yang diceritakan tertidur dengan nyenyak. Adegan ini bukanlah penggambaran kuasa Yesus atas cuaca semata, namun teladan keberanian dan ketenangan dalam menghadapi suatu yang tak pasti, mencekam, berbahaya.  

Ketika kita menyadari tidur sebagai suatu tindakan menyongsong ketidakpastian, yang kita mampu lakukan secara rutin dan sukarela, menurut saya, dalam perjuangan hidup yang penuh ketidakpastian ini, kita dapat memilih bersikap serupa Yesus. Kita tidur dengan harapan atau keyakinan bahwa kita akan bangun pada keesokan harinya. Demikian pula kita menyongsong pergumulan hidup dengan keyakinan bahwa kita akan memenangkannya.

Lalu bagaimana kita memandang perumpamaan pada Markus 13:33-37 tentang penjaga pintu dan Matius 25:1-13 tentang gadis bijaksana dan gadis bodoh? Atau tentang pencuri pada malam hari dalam 2 Tesalonika 5:3-6, yang seakan-akan menempatkan tidur sebagai sesuatu yang salah?


Tentu ayat-ayat itu tidak mengatakan kepada kita untuk tidak tidur secara harfiah. Menarik ketika Yesus menggunakan perumpamaan mengenai penjaga pintu, tidur adalah hak istimewa dari kelompok atau kelas tertentu. Hamba-hamba dan penjaga pintu diharuskan berjaga sampai tuan mereka pulang.  

Pada ayat 37, Yesus mengatakan, "Apa yang Kukatakan kepada kamu, Kukatakan kepada semua orang: Berjaga-jagalah!" Terlihat Ia menghancurkan batas-batas kelas sosial. Bukan hanya hamba yang harus berjaga, melainkan semua. Tuan dan hamba. Harus berjaga dalam menyambut kedatangan Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun