Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak Cahaya: Sebuah Renungan

11 Desember 2024   02:06 Diperbarui: 11 Desember 2024   02:51 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Renungan Filsuf, Koleksi Rudi Sinaba, dibuat memakai Meta AI


Jejak Cahaya: Sebuah Renungan

Di tengah sunyi malam, Socrates berbisik kepada jiwamu, "Kenalilah dirimu sendiri, sebab di sanalah kebenaran bersemayam." Dalam refleksi ini, ia tidak memintamu menatap ke luar, tetapi memintamu masuk ke dalam, mengupas lapisan demi lapisan dirimu sendiri. Karena, sebagaimana ia meyakini, jiwa manusia adalah ruang tak terbatas yang memuat segala misteri. Tetapi, siapa yang ingin mengenal dirinya harus pula siap menghadapi bayangan gelap dalam jiwanya, karena mengenali diri berarti menghadapi kebenaran, dan kebenaran itu sering kali menyakitkan.

Nietzsche kemudian hadir, seolah melanjutkan pesan Socrates, "Siapa yang ingin terbang tinggi harus siap menghadapi badai di ketinggian." Hidup bukanlah jalan datar yang nyaman; ia penuh tantangan yang memanggil keberanian kita. Hanya mereka yang berani menghadapi penderitaan, kata Nietzsche, yang dapat menciptakan kebesaran dalam dirinya. Karena itu, setiap luka adalah tanda bahwa kita sedang bertumbuh, setiap badai adalah ujian apakah kita layak untuk puncak gunung.

Lalu Descartes datang, membawa cahaya pikiran di tengah gelapnya keraguan. "Aku berpikir, maka aku ada," katanya. Ia menyadarkan kita bahwa pikiran adalah fondasi keberadaan, bahwa segala sesuatu yang ada dalam hidup ini hanya mungkin kita pahami melalui kuasa berpikir. Namun, pikiran bukanlah tujuan akhir; ia adalah alat yang memandu kita pada sesuatu yang lebih besar: kebenaran yang abadi. Dalam perenungan ini, Descartes mengajarkan bahwa keraguan bukanlah kelemahan, tetapi langkah pertama menuju keyakinan sejati.

Hegel menambahkan sebuah pelajaran yang tak kalah penting: "Segala sesuatu bergerak dan berubah." Dalam perubahan itu, ada dialektika, sebuah konflik antara yang lama dan yang baru, antara tesis dan antitesis, hingga lahirlah sintesis. Kehidupan kita, kata Hegel, adalah serangkaian proses ini. Jangan pernah takut pada perubahan, karena ia adalah hukum alam. Bahkan, dalam kesulitan terbesar, ia menawarkan peluang untuk pertumbuhan dan transformasi.

Ketika perubahan itu terasa tidak adil, John Rawls muncul dengan suaranya yang lembut namun penuh kekuatan, "Keadilan adalah kebajikan pertama dalam struktur sosial." Rawls mengingatkan kita bahwa keadilan bukanlah sesuatu yang bisa ditunda, karena di dalam keadilan itulah manusia menemukan kedamaian dan harmoni. Ia meminta kita untuk selalu mengukur tindakan kita dengan timbangan yang jujur, menimbang bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain.

Di tengah pergolakan dunia yang keras, Laozi hadir dengan ajarannya yang penuh kelembutan: "Air yang lembut dapat menghancurkan batu yang keras." Ia mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada kekerasan, tetapi pada kelembutan yang konsisten. Air yang menetes perlahan dapat melubangi batu karang, seperti kesabaran yang tulus mampu meruntuhkan tembok keangkuhan. Maka, dalam setiap tantangan, jangan pernah lupa untuk memilih kelembutan sebagai kekuatanmu.

Namun, dunia sering kali menggoda kita dengan kenikmatan fana yang seolah menjanjikan kebahagiaan. Di sinilah Epictetus muncul dengan nasihat bijaknya: "Kebebasan sejati adalah kemampuan untuk mengendalikan diri dari apa yang tidak penting." Jangan biarkan dirimu diperbudak oleh ambisi yang sia-sia atau keinginan yang tak terkendali. Kebahagiaan, kata Epictetus, terletak dalam kemampuan untuk merasa cukup dengan apa yang kita miliki, bukan dalam mengejar apa yang tidak pernah cukup.

Epicurus kemudian berbicara tentang kebahagiaan dalam bentuk yang paling sederhana. "Kebahagiaan sejati bukanlah kemewahan, tetapi ketenangan jiwa." Dalam secangkir teh hangat, dalam senyuman seorang teman, dalam mentari pagi yang menyapa, di sanalah kebahagiaan itu bersemayam. Epicurus mengajarkan kita untuk mencari kebahagiaan bukan di luar diri, tetapi dalam hal-hal kecil yang sering kita abaikan.

Ketika hati diliputi kesedihan, Marcus Aurelius datang dengan pesannya yang menenangkan: "Hidup adalah apa yang kamu pikirkan tentangnya." Kita tidak selalu bisa mengendalikan apa yang terjadi dalam hidup, tetapi kita selalu bisa memilih bagaimana meresponsnya. Dalam setiap kesedihan, ada pelajaran; dalam setiap kegagalan, ada kesempatan untuk bangkit. Maka jadikan pikiranmu taman yang indah, tempat di mana bunga harapan selalu mekar.

Di tengah pencarian makna ini, Heidegger muncul dengan renungannya yang mendalam: "Manusia adalah makhluk yang berjalan menuju ketiadaan, tetapi dalam perjalanan itu, ia menciptakan makna." Hidup adalah perjalanan yang singkat, tetapi justru dalam keterbatasan itulah kita diberi peluang untuk menciptakan sesuatu yang berarti. Maka hiduplah dengan penuh kesadaran, karena setiap langkah adalah kesempatan untuk menciptakan jejak yang abadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun