Fenomena golput dalam pemilu Indonesia telah memicu berbagai diskusi. Dalam Pilkada Jakarta 2024, angka golput mencapai 42,48%, mencerminkan ketidakpuasan terhadap kandidat maupun sistem. Data KPU menunjukkan tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada serentak 2024 turun drastis, hanya 68,16%, dibandingkan 81,78% pada Pemilu 2024. Di Sumatera Utara, angka partisipasi bahkan hanya 55,6%, menunjukkan gejala krisis legitimasi demokrasi.
Golput sering dianggap sebagai bentuk protes politik. Banyak pemilih yang merasa tidak ada kandidat yang mampu mewakili kebutuhan mereka. Sayangnya, tindakan ini justru melibatkan kontrol rakyat atas kekuasaan. Demokrasi membutuhkan partisipasi aktif, bukan pengunduran diri. Anggota KPU, August Mellaz, menilai rendahnya partisipasi ini menjadi sinyal perlunya evaluasi yang serius dalam sistem sosialisasi dan pelaksanaan pemilu.
Selain itu, faktor struktural turut berperan. Kendala akses informasi, kerumitan prosedur administrasi, dan logistik yang buruk membuat pemilih semakin teralienasi. Tingginya angka golput ini mencerminkan kegagalan sistem, bukan sekedar apatisme masyarakat.
Namun, golput tidak selalu merupakan kesadaran kritis. Dalam banyak kasus, hal ini adalah cerminan rendahnya literasi politik. Pemilih sering kali tidak memahami dampak suara mereka terhadap kebijakan negara. Hal ini menunjukkan perlunya edukasi politik yang lebih masif dan inklusif.
Kekecewaan terhadap kandidat juga menjadi penyebab signifikan. Kandidat lebih sering terjebak dalam retorika elektabilitas daripada menawarkan solusi nyata. Akibatnya, pemilih kehilangan kepercayaan pada proses politik, sehingga golput menjadi opsi yang lebih menarik.
Kandidat dan partai politik memikul tanggung jawab besar. Mereka harus mampu menyajikan kampanye yang relevan dan menyentuh kebutuhan masyarakat. Tanpa perbaikan ini, demokrasi hanya menjadi panggung elit politik tanpa keterlibatan rakyat.
Pendidikan politik menjadi kunci utama dalam menekan angka golput. Masyarakat harus memahami bahwa pemilu adalah peluang untuk menciptakan perubahan nyata. Pendekatan berbasis budaya lokal dan digital dapat membantu memperkuat relevansi demokrasi, terutama bagi generasi muda.
Fenomena golput juga mengungkap kegagalan komunikasi elite politik dengan rakyat. Jika ini terus terjadi, demokrasi Indonesia berisiko mengalami stagnasi, di mana partisipasi rakyat tidak lagi menjadi kekuatan yang menentukan.
Meski golput adalah hak demokrasi, itu harus menjadi pilihan terakhir, bukan pengungsi dari tanggung jawab. Demokrasi yang sehat membutuhkan kritik yang dibarengi dengan tindakan nyata. Pilihan abstain hanya efektif jika diikuti oleh langkah-langkah konkret untuk memperbaiki sistem.
Tanggung jawab rakyat tidak berhenti pada pemilu. Pemilih harus terus mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah untuk memastikan suara mereka tidak sia-sia. Hal ini penting untuk mencegah demokrasi berubah menjadi alat oligarki.