Mohon tunggu...
kiki esa perdana
kiki esa perdana Mohon Tunggu... Dosen - pemerhati komunikasi politik dan penggemar sepakbola

mengajar komunikasi pada beberapa universitas, menarik perhatian pada isu komunikasi politik dan budaya penonton sepakbola, pengambilan tulisan untuk kepentingan penelitian, bebas ga perlu izin, tapi mohon harap dicantumkan sumber data nya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jangan Jadi Dosen

19 April 2024   19:12 Diperbarui: 20 April 2024   04:59 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Nelson Mandela dalam bukunya Long Walk to Freedom menulis: "Education is the most powerful weapon which you can use to change the world."

Merenungi pernyataan itu, jika kita percaya pendidikan bisa mengubah dunia, ia benar belaka. Namun, pernyataan Nelson Mandela itu agaknya jauh panggang dari api, terutama saat kita melihat kondisi pendidikan dalam negeri. Ada prasyarat mendasar yang diperlukan agar pendidikan dalam negeri kita bisa optimal untuk menjadi sebuah "senjata untuk mengubah dunia".

Tagar #janganjadidosen bisa menjadi pintu masuk untuk melihat kondisi pendidikan tinggi dalam negeri kita. Tagar ini sempat ramai di jagad media sosial dan menjadi perbincangan di berbagai artikel media massa, dilihat dari berbagai sisi. Tagar ini pada awalnya kebanyakan dibahas di media sosial oleh para dosen perguruan tinggi negeri atau PTN. Namun, mungkin banyak yang lupa bahwa tak sedikit pula dosen yang bekerja di perguruan tinggi swasta (PTS), yang dalam kesehariannya tidak dilindungi undang-undang dalam masalah pendapatan.

Untuk dosen PTN, sejumlah haknya tercantum dalam peraturan pemerintah atau undang-undang. Misal, di Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2009 yang mengatur tentang tunjangan profesi guru dan dosen. Dosen PTN yang menduduki jabatan fungsional mendapatkan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Kita juga bisa minilik Peraturan Presiden Nomor 65/2007 tentang tunjangan dosen. Yang sedikit "menggelitik", di dalamnya menyebutkan bahwa dosen yang menjabat sebagai guru besar akan mendapatkan tunjangan Rp 1,35 juta. Adapun dosen yang mendapat tugas tambahan sebagai rektor dengan jabatan guru besar akan mendapatkan tunjangan Rp 5,5 juta. Itu di luar gaji pokok.

Lalu, bagaimana dengan dosen yang baru masuk, baru selesai kuliah magister, dan tidak memiliki pengalaman mengajar?

Menurut informasi yang saya baca, sebelum ada perhatian dari Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan meningkatkan tunjangan dosen pada 2024, dosen PNS yang bekerja 0--1 tahun masuk golongan III dengan gaji pokok berkisar antara Rp 2,6 juta sampai Rp 4,7 juta per bulan. Sementara itu, untuk golongan paling tinggi, yakni golongan IV, kisaran gajinya Rp 3,04 juta sampai Rp 5,9 juta. Cukup waw (kecil), bukan?

Muncul pertanyaan, apakah pemerintah tahu seberapa sulit, butuh waktu berapa lama, dan butuh biaya berapa untuk menjadi guru besar? Saya rasa pemerintah tidak mengerti dan tidak tahu (atau tidak mau tahu?). Biasanya, jika ada kritik seperti ini, masyarakat umum atau beberapa oknum di pihak pemerintah akan membalasnya dengan "kenapa tidak ikut beasiswa?" atau "kenapa tidak ikut hibah riset?"

Apakah mereka mengetahui persaingan mendapatkan hibah dan beasiswa, baik untuk dosen PTN dan PTS, itu super-duper sulit? Tentu saja tidak sekadar mendaftar dan langsung berhasil lolos. Saingan di dalamnya bukan masyarakat biasa, tetapi mereka yang juga memiliki kemampuan setara atau bahkan lebih dari dosen itu sendiri. Belum lagi jumlah hibah dan beasiswa yang tak sebanding dengan jumlah dosen yang ada.

Sekarang saya coba bahas dosen non-ASN alias dosen PTS. Jika melihat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dosen PTS berhak mendapat gaji pokok dan tunjangan, tetapi nominalnya berdasar kemampuan universitas atau yayasan. Artinya, jika yayasan tersebut besar dan punya kekuatan finansial, otomatis pendapatan yang diterima dosen PTS pun besar. Namun, bagaimana jika tidak? Kondisi di lapangan yang saya tahu, yayasan (dengan kondisi keuangan terbatas) sekadar memberi gaji atau tunjangan dengan nominal di bawah bayaran pekerja pada umumnya.

Seorang kawan pernah protes masalah ini ke otoritas pemerintahan terkait. Namun, mereka tidak dapat membantu karena kewenangan pemberian upah dosen PTS ada pada yayasan yang menaungi universitas tempatnya mengajar. Pemerintah tidak ikut campur.

"Anda seharusnya bersyukur bisa jadi dosen, yang lain tuh susah cari kerja!" adalah kalimat yang paling sering kami dapatkan di media sosial setiap kami protes masalah pendapatan. Tentu saja kami bersyukur dapat pekerjaan yang terbilang bagus. Namun, ada hak yang layak kami terima atas kewajiban dari "pekerjaan bagus" yang sudah kami jalani itu. Lagi pula, bersyukur dan hak adalah dua hal berbeda, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun