(1)
Jakarta, seperti mesin fotokopi yang kelelahan, mencetak ulang langkah kaki. Di dalam KRL, tangan-tangan menggenggam layar, seperti menahan gravitasi yang membebani kepala. Di luar jendela, gedung-gedung berlomba mencakar langit, seakan ingin membuktikan bahwa langit hanya milik mereka. Kaki-kaki lelah mengeja aspal yang retak. Lampu jalan berkedip, ragu-ragu antara mati atau hidup, seperti nasib yang tak pernah selesai dipikirkan.
(2)
Braga di Bandung, seperti buku tua dengan aroma kertas basah. Trotoar menyerap langkah, membawa mereka pada aroma kopi yang bertumpahan. Di sudut jalan, seorang pemuda duduk dengan kertas lusuh. Tumpahan teh membentuk pola seperti peta yang tak pernah selesai. Ia menulis puisi di sana, puisi yang hanya dibaca angin, hanya didengar malam.
(3)
Sudah malam di Jakarta, dan sungai Ciliwung berubah menjadi cermin kelam. Di atasnya, bayangan gedung bertingkat seperti wajah muram. Di tepinya, anak-anak tertawa, menyambut aliran air yang mengendap bau kota. "Mereka tak tahu," kata seorang bapak sambil memandangi arus, "air ini hanya membawa cerita yang tak pernah bahagia."
(4)
Di jalan Dago, Bandung menawar sepi dengan kabut. Pedagang kaki lima menawarkan roti bakar, uapnya berbaur dengan dingin yang meresap sampai ke tulang. Seorang lelaki tua memetik gitar dengan nada-nada patah. Ia tidak menyanyi, hanya berbicara dengan senar, bercerita tentang musim yang hilang, tentang taman-taman yang dulu penuh tawa, sekarang penuh rindu.
(5)
Sementara itu, Senayan sibuk berbisik tentang kuasa. Gedung-gedung tinggi membentuk labirin bayangan, menutupi jalan-jalan yang penuh debu dan mimpi yang tertinggal. Seorang pemulung menyeret gerobaknya, seperti menggiring awan mendung. "Apa arti keadilan?" pikirnya, tapi kata itu terlalu besar untuk gerobak kecilnya.