Empat tahun lalu, anak bungsu saya membawa bibit pohon kemiri pemberian dari Uwaknya untuk ditanam di pekarangan rumah. "Ini jenis si Mayit, Bah," ungkapnya dengan bangga saat saya tanya jenis kemiri adu apa yang ia tanam.
Kini pohon kemirinya telah berbuah. Kemarin (Senin, 09/12), rupanya ia konfirmasi kepada sepupunya di Singaparna yang nampaknya lebih pakar darinya. Saat tiba di rumah dengan semangat ia mengoreksi ucapannya empat tahun lalu, "Saur A Dian mah muncang jalim, Bah." Rupanya pohon kemiri adu yang sudah berbuah tersebut berjenis jalim. Saya membuka ruang ragu selebar-lebarnya. Saya bukan seorang pakar kemiri.
Armando Gonzalez Stuart, PhD. menyebutkan bahwa kemiri berasal dari Indonesia, namun kini dibudidayakan di Amerika Utara dan Selatan, terutama di Brasil. Kemiri atau muncang dalam bahasa Sunda memiliki nama Latin Aleurites moluccanus. Laman Etymonline untuk lema "Moluccas" menerangkan sebagai gugusan pulau-pulau di Indonesia, Kepulauan Rempah-Rempah, dalam bahasa Prancis pada tahun 1520-an disebut Moluques, dari bahasa Melayu Maluku yang berarti "(pulau-pulau) utama", dari kata molok yang berarti "utama, kepala", yang mungkin disebut demikian karena letaknya yang berada di tengah-tengah Nusantara.Â
Penyebutan pertama kali maloko yang tercatat, menurut Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dalam Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume III ((1960c), yang dapat diidentifikasikan dengan Maluku berasal dari Nagarakertagama, sebuah kitab Jawa Kuno yang ditulis pada tahun 1365.
Bait ke-14 bait ke-5 menyebutkan Maloko, yang diidentifikasi oleh Pigeaud sebagai Ternate atau Maluku. Hal senada dinyatakan Roger Blench dalam Fruits and Arboriculture in the Indo-Pacific Region (2004), bahwa kemiri pertama kali didomestikasi di pulau-pulau di Asia Tenggara.
Sisa-sisa kemiri yang dipanen telah ditemukan dari situs arkeologi di Timor dan Morotai di Indonesia bagian timur, yang masing-masing berasal dari tahun 13.000 dan 11.000 Sebelum Masehi. Morotai adalah salah satu pulau di Maluku Utara.
Dr H. J. De Graaf dalam Masa Pemerintahan Sultan Agung, Pangeran Mataram 1613-1645 dan Pendahulunya Panembahan Seda-Ing-Krapyak 1601-1613 (1958) menyitir sedikit tentang permainan aben kemiri (Sunda, adu muncang) yang saat itu disebut sebagai mirobolani. Berdasarkan sebuah laporan dari seorang utusan kerajaan Belanda, Jan Vos (1624), De Graaf menulis:
"Over zijn doortastendheid vernam reeds Jan Vos de anecdote van het spel, "dat hy mirobolani noemt", het adu kemiri, thans tot jongensspel geworden. Een gerei tot dit spel vond men in het museum SanaBudaja te Solo. Men neemt daarbij twee kemiri-pitten, zet die op elkaar en daar weer op een lange, platte gespleten bamboe. Dan wordt er met een houten hamer op geslagen. Wiens pit breekt, verliest, Natuurlijk werd er om geld gespeeld. Op 's vorsten bevel moest men meedoen. Toen vier groten eens van vals spel verdacht werden (29 juni 1623), liet de vorst, "datelyck hare paerden in syn presentie uyt haere huysen haelen ende voor haer oogen den hals affsnyden, ende seyde tegens haer, dat soo hy haer op een ander tyt wederom soo vont, haer sou doen, gelyck hy tegenwoordich haer paerden gedaen hadde". Twee minder schuldigen kwamen er evenmin straffeloos af. Hun vrouwen en kinderen werden binnen het hof gehaald (d. J. V, 37).."
Dari Jan Vos, De Graaf mendengar sebuah kisah kecil tentang permainan yang disebutnya mirobolani, yaitu adu kemiri. Perlengkapan permainan ini tersimpan di museum Sonobudoyo di Solo (seharusnya Yogyakarta). Cara bermainnya, dua biji kemiri diletakkan bertumpuk di atas bilah bambu yang panjang dan rata lalu dipukul dengan palu kayu. Jika kemirinya pecah, maka pemiliknya kalah.
Pada saat itu, menurut De Graaf, adu kemiri dimainkan demi uang atau judi. Saat ditengarai ada kecurangan, seperti yang tercatat pada tanggal 29 Juni 1623, Sultan Agung membuat kuda mereka merobohkan rumah-rumah mereka, kemudian memenggal leher kuda-kuda tersebut di depan matanya.