Pernahkah anda naik pesawat, lalu mendapat makanan dan jus di ketinggian 35.000 kaki,padahal perjalanan hanya 1 jam dan anda sangat rela jika tidak mendapat makanan asalkan harga tiket lebih murah?
Pernahkah anda menginap di hotel, dengan furniture yang lengkap dan mewah, TV kabel puluhan chanel, kamar mandi dengan bathub dan peralatan yang lengkap, serta sarapan model all you can eat, padahal yang anda butuhkan hanya tempat bermalam yang nyaman untuk tidur?
Itulah 2 gambaran bisnis yang memiliki frill yang sangat banyak. Frill maksudnya adalah embel-embel, tambahan yang tidak terlalu esensial untuk keberlangsungan fungsi utama. Sektor penerbangan dan perhotelan adalah 2 bisnis dengan frill yang banyak akibat image mewah khusus pelanggan kaya yang telah dibangun sejak dahulu.Â
Padahal, pelanggan terutama kelas menengah saat ini semakin cerdas dan efisien dalam hal keuangan. Mereka tidak segan-segan memotong pengeluaran pada hal-hal yang kurang penting bagi mereka. Selain itu, pelanggan saat ini semakin cerdas dalam memilih layanan. Mereka membayar tiket pesawat untuk bepergian, bukan untuk makan. Mereka membayar kamar untuk tidur, bukan untuk menonton TV. Dunia semakin terfokus dan terspesialisasi dalam memilih layanan.Â
Kebangkitan model bisnis no frill sudah dimulai sejak tahun 2000an. Airasia, Lion Air, IbisHotel, dan Tune Hotel adalah beberapa brand no frill business yang dikenal konsumer Indonesia. Dapat dilihat bahwa maskapai-maskapai full service pun membentuk maskapai low cost untuk melawan no frill bisnis model. Misalnya Garuda Indonesia yang membentuk Citilink, atau Singapore Airlines yangmembentuk Tiger Airways.Â
Bahkan konsep mobil murah ramah lingkungan LCGC pun mengikuti prinsip no frill. Mobil tersebut didesain dengan fungsi minimal agar pengendara dapat menggunakannya untuk berpindah tempat, tanpa embel-embel lain, sehingga harganya jauh lebih murah. Dan terbukti LCGC laris bak kacang goreng.
Walaupun bisnis model ini sudah diterapkan di sector penerbangan dan perhotelan beberapa tahun lalu, masih banyak sector lain yang dapat dimaksimalkan dengan model bisnis ini. Dengan begitu sector bisnis tersebut dapat mengambil market yang belum tergarap serta menjadi jawaban akan pelanggan yang semakin cerdas.Â
Misalnya sektor bioskop. Bioskop selalu terletak di mall dengan dekorasi yang "wah" dan terletak di pusat perbelanjaan yang besar. Mengapa tidak membuat bioskop dengan dekorasi biasa saja, terletak di ruko di daerah pinggiran kota, dan harga tiket yang jauh lebih murah?Â
Atau mungkin bisnis anda dapat dimaksimalkan dengan bisnis ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H