“A quitter never wins and a winner never quits”
Sering sekali kita melihat dan merasa bahwa prestasi adalah ketika kita bisa menguasai suatu keahlian tertentu. Kita tidak pernah menghargai sesuatu yang kecil dan mungkin tidak merasa suatu hal adalah hal yang luar biasa yang pernah kita atau orang lain capai. Contoh prestasi yang sering terlupakan dan kita sepelekan adalah dalam hal ketahanan untuk tetap menjalani suatu pekerjaan atau keadaan di mana kita merasa dalam tekanan. Misalnya ketika kita harus tetap duduk berhadapan dengan seorang penguji yang membombardir kita dengan pertanyaan lisan yang kita tidak sanggup menjawabnya dalam waktu 3 jam! Prestasi kecil yang luar biasa dalam kondisi ini adalah ketika kita bisa tetap menghadapi segala kondisi yang membuat kita tertekan dan tidak menyerah dan lari dari keadaan yang mengintimidasi tersebut. Contoh lain adalah seperti pengalaman saya saat saya untuk pertama kali mencoba mengendarai kuda mengitari kompleks candi Gedong Songo di lereng Gunung Ungaran Semarang Jawa Tengah beberapa hari yang lalu.
Candi Gedong Songo adalah tujuan wisata Kakak saya dan keluarga saat itu. Beruntung sekali saya bisa ikut serta walaupun baru tahu tentang candi ini lewat Google saat di perjalanan dari Semarang yang berjarak kira-kira 45 km menuju lokasi kompleks candi. Tiket masuk menuju Candi Gedong Songo bervariasi; untuk dewasa Rp 7000 sedangkan untuk turis mancanegara sebesar Rp 70.000. Dalam suasana kedinginan, setelah masuk, banyak yang menawarkan jasa penyewaan kuda. Kalau kita selalu ingin hidup sehat, sebenarnya acara wisata ini bisa digunakan sekalian olahraga jalan kaki sekaligus untuk menghangatkan badan, namun para ponakan terpincut dengan kuda-kuda yang parkir di kandangnya. Maka mulailah Kakak tawar menawar dengan para penawar kuda, walaupun sebenarnya harga Rp 50 ribu adalah harga mati untuk bea keliling semua wahana yang ada di sana, yaitu mengunjungi semua candi dan air panas. Maka mulailah keempat ponakan dengan riang gembira menaiki satu persatu kuda, lalu diikuti oleh saya dan seorang tante yang ditugaskan untuk mengawasi dan menjaga keselamatan para ponakan. Satu persatu para pengendara kuda jadi-jadian ini difoto dengan pose ala seorang joki beneran .
Tak disangka ternyata jalanan yang dilalui kuda sangat berat medannya. Kami harus melalui tanjakan, turunan dan tikungan yang tajam dan di samping jalan setapak khusus kuda tidak ada pagar pengaman yang menghindarkan kuda terjungkal ke lembah. Dan yang lebih menyeramkan pengendara kuda jadi-jadian ini hanya bisa memegang sadel kuda sehingga keselamatan kami dalam melalui medan berat ini hanya dengan banyak berdoa, memejamkan mata dan memegang sadel sekuat-kuatnya. Saya membayangkan betapa ngerinya jika saya jatuh dari kuda, apalagi pengendara kuda tidak dilengkapi dengan asuransi. Terbayang Christopher Reeve yang lumpuh akibat jatuh dari kuda. Waduh, dalam keadaan dalam bahaya kok saya malah membayangkan yang seram-seram. Tapi, tanpa disangka, sang ponakan yang seharusnya saya jaga dan awasi malah terlihat riang gembiara sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah Tantenya yang sudah tertinggal jauh di belakang. Malah ada dua ponakan yang sudah berani memegang tali pelana (kendali) kuda. Saudara saya yang juga Tante para ponakan akhirnya turun, menyerah. Saya sempat terpikir mengikuti jejaknya, namun saya teringat bahwa prestasi saya adalah bukan bisa melarikan kuda dengan baik dan benar, namun tetap bertahan sampai garis finish!
Saat kuda jalan santai di jalan yang landai, saya bertanya pada “pawang” kuda yang selalu setia mendampingi kuda piaraannya tentang sejarah candi Gedong Songo. Menurut sang pawang, candi ini dibangun oleh Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga. Yah, karena saya benar-benar gelap tentang candi ini maka saya hanya bisa mangut-mangut. Dan ketika saya googling ternyata informasi yang saya dapat adalah bahwa candi Hindu ini dibangun pada masa kekuasaan Wangsa Syailendra pada abad ke-9 (sama dengan Borobudur?). Candi yang berarti Sembilan bangunan dan ditemukan oleh Raffles pada tahun 1804 ini terdiri dari 9 candi namun tidak semua candi utuh berupa bangunan, hanya ada (kira-kira) 5 yang utuh, selebihnya hanya bongkahan batu sisa-sisa candi yang menandakan dulunya adalah berupa bangunan candi utuh.
Di dekat lapangan yang saat itu dipakai oleh para mahasiswa atau siswa yang sedang melakukan kegiatan orientasi, sampailah kami di candi yang merupakan candi yang berada di daerah tertinggi, sekitar 1200 dpl. Ternyata jalur kuda mencapai candi terakhir dulu baru turun ke bawah menelusuri candi-candi berikutnya. Di titik ini kita bisa melihat semua pemadangan indah, termasuk pemandangan gunung-gunung lainnya. Setelah puas meregangkan badan dan tangan yang pegal akibat tegang selama berkuda, maka kami pun meneruskan perjalanan menuju geyser atau sumber air panas. Dari dekat geyser berbau belerang, dengan air panas di dalam bumi yang menggelegak. Para ponakan bertanya bagaimana terjadinya geyser, namun sang Tante ngasal menjawab pertanyaan mereka hihihi.
Dari Geyser kami menuju ke candi berikutnya. Kami sempat meminta para pawang kuda untuk memotret kami. Akhirnya, dapat juga poto bergaya di atas kuda, walaupun aslinya keadaan saya jauh lebih buruk dari yang dipoto haha. Tidak jauh dari candi ini ada candi lain yang saat itu dikunjungi para turis yang sedang diwawancara para pelajar kita yang sedang belajar bahasa Inggris.
Mendekati candi terakhir, seorang ponakan yang awalnya berada di belakang tiba-tiba menyalip Tante-nya tanpa didampingi sang juru pawang. Dengan luwesnya dia memegang kendali kuda. Melihat aksinya ini, seorang ponakan yang lain pun mengikuti dengan riang gembira karena bisa mengendalikan kudanya. Akhirnya semua ponakan bisa sampai di garis finish dengan suka cita. Lalu lama berselang muncullah sang Tante yang penuh suka cita dan rasa syukur mengakhiri petualangan tegangnya mengendarai kuda.
Petualangan seru berkuda ternyata sangat berkesan bagi para ponakan, namun sama sekali tidak untuk kedua kalinya untuk sang Tante hehehe.
[caption id="attachment_190265" align="aligncenter" width="500" caption="4 bocah pemberani"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H