Kelompok etnis Tionghoa telah lama dituduh sebagai “non-pribumi” dengan suku-suku lain di Indonesia yang lama mengklaim diri mereka sebagai “pribumi”, semua pernah saling melukai dan terlukai.
Selama bertahun-tahun silam, Pemerintah sering membuat berbagai kebijakan diskrimatif yang begitu melukai warga keturunan Tionghoa. Pembuatan KTP misalnya, warga keturunan China selalu diberi label khusus, yang kemudian dikembangkan istilah “WNI keturunan”.
Stereotyping yang dikembangkan pun merupakan penilaian negatif tanpa nalar sehat atas warga keturunan China. Kita sering mendengar anggapan-anggapan stigmatik bahwa mereka itu oportunis, hanya cari untung, eksklusif, tidak punya komitmen, tidak nasionalis, dsb.
Sikap”pribumi” yang melukai “nonpribumi” ini sebenarnya juga berakar pada perasaan “telah dilukai” oleh kelompok etnis Tionghoa itu. Sejak jaman VOC pada abad ke 17 sampai pada 1945, Penjajah membuat diskriminasi yang merendahkan orang pribumi dan meninggikan warga keturunan China. Selama masa itu, masyarakat dibagi dalam tiga kelas. Kelas satu adalah ras Eropa, kelas dua adalah ras Timur Asing (termasuk China), dan kelas tiga adalah pribumi Indonesia (Inlander). Setelah merdeka, warga kelas kambing bangkit dan membalas luka-luka batinnya itu.
Sejarah konflik SARA di Indonesia tak lepas dari konflik etnis China dengan etnis pribumi. Pada tahun 1960, banyak warga keturunan China pulang ke RRC karena diserang. Pada 1967, masyarakat Dayak membantai ratusan warga keturunan China. Dalam peristiwa “Malari” pada 1974, banyak warga keturunan China menjadi korban. Terakhir Mei 1998, meski tetap menjadi misteri sampai kini, ratusan warga keturunan China dilaporkan telah mengalami tindak kekerasan masal di Jakarta dan Solo.
Syukurlah, Reformasi yang sampai satu dekade ini masih banyak kurang dan cacatnya, ternyata telah membawa kesembuhan bagi bangsa yang terluka ini. Inpres No. 14 Tahun 1967 yang membekukan semua kebudayaan, adat istiadat dan agama khas Tionghoa di tanah air dicabut dengan Keppres No 6 Tahun 2000. Sejak itu, Hari Raya Imlek pun bebas dirayakan.
Reformasi hukum itu pun berlanjut. Pada 1 Agustus 2006, UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI secara resmi diundangkan. Untuk memperlengkapinya diundangkan pula UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Peraturan baru ini melenyapkan segala macam pembedaan atas dasar ras, etnis, agama, jenis kelamin, dll dalam proses pendaftaran penduduk. Dengan demikian, secara yuridis formil, Reformasi telah mengakhiri bentuk-bentuk diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa di Indonesia..
Reformasi telah membuka lembaran baru bagi komunitas etnis keturunan Tionghoa di bumi nusantara. Mereka tidak lagi diposisikan sebagai orang asing tetapi bagian dari keluarga besar bangsa Indonesia yang sangat plural ini. Perayaan Imlek di negara ini menjadi pertanda telah terjadinya pemulihan atas sakitnya bangsa ini. Kemeriahannya menjadi penyembuh atas luka-luka yang telah sekian lama mencabik-cabik kemolekan tubuh bangsa Indonesia yang begitu bhinneka ini. Gong Xi Fa Chai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H