Mamat, bocah empat tahun itu menangis merintih, sudah dua hari perutnya terasa sakit sekali. Sabtu pagi, 13 September 2014, ia dibawa orang tuanya ke IGD salah satu rumah sakit swasta yang dekat dari rumahnya. Sebut saja RS A di pinggiran Jakarta, yang sudah bekerjasama dengan BPJS. Mamat harus dirawat inap.
Kata dokter Mamat kena usus buntu dan harus segera dioperasi. Minggu pagi, Mamat dijadwalkan operasi. Biayanya diperkirakan 8 juta rupiah. Keluarganya bingung darimana harus dapat uang sebanyak itu, maklumlah Ayah Mamat seorang tukang ojek sementara ibunya bekerja di pabrik boneka. Ayah Mamat berusaha mencari pinjaman uang, namun pinjaman yang ia dapat belum dapat menutupi biaya operasi itu.
Dibantu tetangganya, ayah Mamat  mendaftar BPJS secara online. Penuh harapan BPJS dapat membantu biaya buat Mamat. Sabtu malam, e-ID BPJS sudah ia peroleh. Keesokan harinya, ayah Mamat berusaha mengajukan kartu tersebut agar biaya operasi dan perawatan Mamat bisa dicover BPJS. Namun RS A menolak, alasannya sejak awal Mamat terdaftar sebagai pasien yang membayar cash, jadi tidak dapat diubah menjadi pasien BPJS.
Sedih dan bingung anak sakit harus dioperasi sementara uang pinjaman belum cukup, memaksa orang tua Mamat mengambil keputusan memindahkan anaknya ke rumah sakit pemerintah, RS B, yang informasinya jelas mau menerima BPJS. Dipindahlah Mamat kesana. Namun sayang sekali, kamar di rumah sakit ini penuh. Terpaksa Mamat dibawa lagi ke RS C, rumah sakit swasta mitra BPJS juga, yang kabarnya tersedia kamar. Orang tua Mamat masih berharap BPJS dapat menolongnya.
Dalam perjalanan ke RS C, Mamat merintih kesakitan. Sudah sekitar jam satu siang saat Mamat tiba disana. Sayang sekali lagi, memang ada kamar dan ada dokter bedah, tetapi tidak ada dokter anestesi. Waktu semakin berjalan, badan Mamat terasa panas. Orang tuanya pasrah, akhirnya mereka memutuskan Mamat dibawa ke RS D, yang bukan mitra BPJS. Yang penting Mamat segera mendapat tindakan. Di RS D, Mamat segera ditangani, jam 3 sore ia mulai dioperasi. Alhamdulillah operasi berjalan lancar. Selanjutnya Mamat dirawat inap selama seminggu. Saat ini Mamat masih dirawat jalan.
Hingga saat ini, biaya perawatan Mamat kabarnya sudah mencapai dua puluh juta rupiah yang merupakan pinjaman dari sana-sini. Orang tuanya pusing bagaimana harus membayar utang-utang itu.
Begitulah, ternyata walaupun sudah bekerja sama dengan BPJS, RS A tidak mau menerima kartu BPJS dengan alasan berdasarkan pendaftaran awal. Kalau sudah bilang mau bayar cash saat pendaftaran, ya sudah BPJS tidak berlaku lagi. Padahal, di peraturan Menteri Kesehatan, seperti ditulis Kompasianer Pak Yaslis Ilyas di sini, jangka waktu pendaftaran pasien BPJS adalah selambat-lambatnya 3 x 24 jam hari kerja sejak yang bersangkutan dirawat atau sebelum pasien pulang (bila pasien dirawat kurang dari 3 hari). Jika sampai waktu yang telah ditentukan pasien tidak dapat menunjukkan nomor identitas peserta JKN maka pasien dinyatakan sebagai pasien umum. Untuk kasus Mamat besoknya ia sudah bisa menunjukkan kartu BPJS, masih jauh dari batasan 3x 24 jam itu.
Pada saat kejadian itu, pihak BPJS yang dihubungi melalui call centernya, mengatakan memang semua tergantung kebijakan rumah sakit apakah mau menerima kartu BPJS yang dibuat menyusul atau tidak. Jika rumah sakit tidak mau menerima, disarankan agar mencari rumah sakit lain yang mau menerima. Ah, repotnya jadi pasien BPJS, harus berjuang sendiri. Jadi siapa yang seharusnya melindungi pasien BPJS yang seperti ini?
Timbul pertanyaan sebenarnya mengapa RS menolak kartu BPJS? Mungkinkah jaminan pembayaran BPJS belum dapat dipercaya? Atau jumlah pembayarannya masih belum memadai tidak sesuai dengan pengeluaran RS? Atau waktu pembayarannya yang molor jadi merepotkan RS mengatur cash flow-nya? Muncul juga pertanyaan apakah ada perbedaan perlakuan untuk pasien BPJS menyangkut ketersediaan kamar dan dokter? Pasien BPJS menempati prioritas kesekian dibanding pasien umum misalnya?
Saya sungguh tidak tahu. Yang saya tahu, pasien BPJS jadi pihak yang dirugikan. Berharap pihak BPJS dapat menjelaskan hal ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H