Pertengahan tahun 2009, hari menjelang siang. Saya duduk di teras sebuah kantor pelayanan masyarakat,ditemani seorang gadis berwajah Korea dengan rambut panjang berponi. Rambut lurusnya tergerai panjang hingga punggung. Cantik, kurus, tinggi semampai. Sebut saja namanya Chika.Usianya baru 19 tahun, tamatan SMA.Pernah bekerja sebagai pramuniaga.
Sekilas Chika tampak seperti remaja pada umumnya. Namun, beberapa waktu bersamanya mulai terkuak segala hal yang membuat saya terpaksa diam-diam menghela nafas.
“Bu, lihat deh…tangan saya hitam-hitam…bekas-bekas nyuntik,” Chika menyingsingkan kaos lengan panjangnya. Tampak lengannya dipenuhi bercak-bercak hitam.
“Perabotan di rumah ortu kayak rice cooker saya jualin buat beli obat. Kalau nggak ada uang buat beli, seminggu saya tahanin badan, …sakit sekali…saya sampai nubruk-nubrukin badan ke pintu...sakaw,” Matanya meredup saat bercerita.
Ya, Chika adalah pengguna narkoba, sudah cukup lama menurut pengakuannya. Banyak cerita lainnya mengalir dari bibir Chika. Tentang keluarganya yang tergolong kurang mampu, tentang keributan yang terjadi antara ia dan orang tuanya, tentang ia yang tidak lagi diterima di rumah, dan lain-lain. Saya berusaha menjadi pendengar yang baik, dan bila diperlukan mencoba memberikan pilihan solusi buatnya.
Masa Remaja Itu…
Perih, itulah yang terasa di hati saya saat itu. Memandang Chika yang berwajah muram, terbayang pula muramnya masa depannya bila ia tetap berteman dengan narkoba. Chika adalah salah satu potret remaja yang gamang, tidak tahu mau berbuat apa, tidak paham tujuan hidupnya apa, tidak ada rencana dan target yang disematkan dengan kuat dalam kehidupannya.
Masa remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Remaja tidak lagi dapat dianggap sebagai anak-anak karena bentuk fisiknya sudah berubah, cara berfikir atau bertindak juga sudah berbeda. Namun, mereka belum lagi bisa dianggap orang dewasa yang telah matang. Dalam masa ini remaja mungkin akan mencoba hal-hal baru yang menarik minat mereka untuk menunjukkan eksistensi diri. Hal ini teramat wajar mengingat masa remaja adalah masa pencarian jati diri.
Kegiatan apa yang kita harapkan dilakoni remaja? Tentu kita berharap mereka akan melakukan hal-hal positif seperti ikut kegiatan remaja mesjid, aktif di pramuka, menjadi anggota pencinta alam, ikut klub olahraga dan lain-lain. Melalui kegiatan-kegiatan itu, mereka akan belajar bermasyarakat, bertanggung jawab terhadap tugas-tugasnya bahkan dapat meraih prestasi.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian remaja terlibat dalam tawuran, mabuk-mabukan, menggunakan narkoba, terjerumus seks bebas dan lain-lain. Data dari Kementerian Kesehatan pada tahun 2009 di empat kota besar (Medan, Jakarta Pusat, Bandung, dan Surabaya) menunjukkan sekitar 4 dari 10 remaja mengaku punya teman yang pernah melakukan hubungan seksual. Sementara remaja pengguna narkotika psikotropika dan zat adiktif (napza) tercatat sebesar 45% dari seluruh pengguna napza, dan sekitar 45,9% remaja hidup dengan AIDS.
Remaja di era digital ini menghadapi tantangan yang lebih besar dibanding remaja jaman dulu. Gempuran informasi di dunia maya melanda mereka. Yang mengkhawatirkan salah satunya adalah serangan pornografi. Padahal dengan dunia maya ini, jelas sebagian besar anak baru gede (ABG) ini sangat akrab. Coba perhatikan, ABG mana yang tidak akrab dengan gadgetnya. Gadget selalu ada di sisinya,dibawa-dibawa terus sampai ia tertidur. Nah, kalau si ABG tidak bisa menyaring informasi sampah yang ia terima, bayangkan apa yang akan terjadi…
Remaja memang belum matang pemikirannya. Ia masih memerlukan bimbingan terutama dari orang tua. Remaja perlu diarahkan agar mengerti mau kemana ia, apa tujuan hidupnya, danbagaimana cara mencapainya. Ia harus dibekali dengan pendidikan moral dan agama agar menjadi manusia berakhlak mulia. Suatu ketika, ia harus dengan lantang dapat meneriakkan “Kutahu yang Kumau” dalam arti yang positif. Karenanya remaja perlu diajari cara merencanakan hidupnya agar menjadi manusia yang berkualitas.
GenRe, Gaya Hidup Remaja Berkualitas
Bagaimana membantu remaja merencanakan hidupnya itulah yang menjadi perhatian Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Untuk itu diluncurkan program Generasi Berencana (GenRe) sejak tahun 2012. GenRe diusung sebagai sebuah gaya hidup di kalangan remaja agar dapat merencanakan keluarga yang berkualitas. Yang dimaksud keluarga berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, mempunyai jumlah anak ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Program GenRe ditujukan kepada remaja atau mahasiswa melalui wadah Pusat Informasi dan Konseling (PIK) Remaja/Mahasiswa, serta kepada keluarga yang memiliki remaja melalui Bina Keluarga Remaja (BKR). PIK Remaja/Mahasiswa dikelola dari, oleh dan untuk remaja/mahasiswa. Melalui PIK,remaja akan memperoleh berbagai informasi dan konseling, diantaranya tentang kesehatan reproduksi remaja (KRR) dantiga resikonya (seksualitas, napza, HIV/AIDS), serta fungsi keluarga. Mereka juga akan dibekali materi keterampilan/kecakapan hidup yang terkait dengan KRR dan pemberdayaan sosial ekonomi.Pada prinsipnya, PIK memfasilitasi para remaja dalam mengisi masa-masa remajanya dengan kegiatan positif sebagai bekal kehidupan berkeluarga.
Sementara BKR membantu orangtua dalam memahami remaja, permasalahan yang dihadapi remaja, serta cara berkomunikasi dengan remaja. Melalui kelompok BKR setiap keluarga yang memiliki remaja dapat saling bertukar informasi dan berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitandengan remaja, bagaimana berkomunikasi yang efektif terhadap remaja, penanaman nilai-nilai moral, juga informasi program GenRe.
Generasi muda dianjurkan agar tidak buru-buru menikah.Usia ideal menikah adalah di atas 20 tahun bagi perempuan, dan di atas 25 tahun bagi laki-laki. Usia tersebut dianggap sudah baik dan matang untuk organ reproduksi perempuan bila melahirkan. Usia matang bagi keduanya yang diharapkan sudah siap mental dan memiliki emosi yang stabil bila menghadapi berbagai masalah yang mungkin timbul dalam kehidupan berkeluarga serta bila nanti mendidik anak mereka.Usia dimana mereka sudah bisa hidup mandiri memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan bisa mengatur keuangan keluarga.Sebelum tiba masa itu, remaja diajak untuk membekali diri dengan berbagai pengetahuan agar benar-benar dapat merencanakan hidupnya baik menyangkut pendidikan, pekerjaan juga membangun keluarga. Pendeknya agar ia siap mandiri, siap membangun keluarga yang berkualitas.
Dengan program GenRe, mereka belajar memahami, mempraktekkan perilaku hidup sehat dan berakhlak sebagai dasar mewujudkan keluarga yang berkualitas. Perilaku seperti ini tercermin pada salam Genre: Say NO To Free sex, Drugs, and HIV/AIDS.
Menjadi GenRe berarti memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku sebagai generasi yang mampu melangsungkan jenjang pendidikan secara terencana, berkarir dalam pekerjaan secara terencana, serta menikah dengan penuh perencanaan sesuai siklus kesehatan reproduksi dalam rangka penyiapan kehidupan berkeluarga.
Keberhasilan membangun GenRe berarti berhasil meletakkan pondasi awal bagi keluarga yang berkualitas yang merupakan aset bangsa. Dengan semakin banyaknya keluarga yang berkualitas maka terbentuklah bangsa juga berkualitas, bangsa yang makmur sejahtera yang merupakan salah satu cita-cita bangsa Indonesia.
Sosialisasi GenRe
BKKBN sangat serius mengkampanyekan GenRe. Karena sasarannya remaja dengan usia 10-24 tahun yang belum menikah, berbagai event menarik pun digelar. Diantaranya lomba membuat poster, membuat film, Stand Up Comedy dan Duta Mahasiswa (Dumas). Tak ketinggalan pula media sosial dijadikan sarana untuk sosialisasi seperti facebook, twitter, juga Kompasiana.
Namun, sosialisasi GenRe rupanya belum terlalu populer, setidaknya pada tiga gadis remaja yang sempat saya tanyakan apakah pernah mendengar tentang program GenRe. Ketiganya menjawab belum. Dua diantaranya adalah mahasiswi, satunya lagi siswi SMA. Ketiganya remaja yang tinggal di daerah perkotaan dan cukup akrab dengan media sosial.
Geulis, salah satu mahasiswi itu baru saja menyelesaikan ospek jurusan di universitasnya yang diakhiri dengan aksi sosial di sebuah desa yang tergolong daerah tertinggal. Mereka melakukan perbaikan jalan, menanam mangrove, dan mengajar anak-anak sekolah dasar. Geulis mengaku kali ini belum ada kegiatan aksi yang menyentuh remaja desa.
Walaupun sosialisasi GenRe sudah cukup gencar di media sosial, tampaknya daerah tempat Geulis dan teman-teman melakukan kegiatan sosial itu, belum tersentuh. Mungkin remaja di daerah tertinggal seperti ini aksesnya kepada media sosial tidaklah seintens remaja di daerah yang lebih maju. Karenanya, sosialisasi GenRe di sana perlu dilakukan secara langsung, dan pilihannya dapat melalui mahasiswa yang sedang terjun langsung melakukan aksi sosial, atau yang sedang kuliah kerja nyata (KKN). Tentu sebelumnya para mahasiswa ini dibekali dulu dengan materi GenRe. Untuk hal ini diperlukan kerjasama antara BKKBN dengan universitas, kerjasama yang tentunya akan menguntungkan kedua belah pihak, karena mahasiswa mendapat pilihan program bakti masyarakat yang terkait dengan remaja, sementara BKKBN memperoleh jangkauan sosialisasi yang lebih luas.
Mahasiswa melakukan bakti masyarakat dengan mensosialisasikan GenRe kepada remaja di desa akan efektif karena sosialisasi kepada remaja akan lebih mengena bila dilakukan oleh remaja pula. Dengan teman sebaya yang bicara dalam bahasa dan gaya yang sama, pastinya sosialisasi akan lebih mudah dipahami. Hal yang tentunya sejalan dengan strategi yang dilakukan BKKBN antara lain lewat PIK Remaja/Mahasiswa dan Dumas-nya.
Ayo remaja, mari berGenRe…
Referensi: http://ceria.bkkbn.go.id/
Sumber foto: facebook BKKBN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H