Ini bukan cerita tentang hubungan negara kita yang sedang panas dengan negara tetangga terkait dengan eksekusi gembong narkoba. Bukan itu, kali ini saya cuma ingin cerita tentang salah seorang teman saya. Sebut saja namanya Mbak Nuri. Sosoknya mungil dan energik. Cara jalannya cepat, tempo bicaranya juga. Biar mungil begitu, dia sangat berani dan tegas. Kalau beliau meyakini sesuatu, maka akan terus kukuh dipegangnya. Dan…jangan coba-coba membantahnya kalau beliau sudah katakan Tidak. Meski berbadan kecil, nyali ibu tiga anak ini sangat besar.
Beliau ini pernah menjadi orang kepercayaan salah seorang petinggi negara. Sekretaris pribadi, begitu nama jabatannya (Sespri). Nah, yang namanya petinggi, pasti banyak yang berkunjung. Macam-macamlah urusannya. Suatu hari, datang kunjungan dari pejabat sebuah lembaga internasional beserta serombongan besar ajudannya. Salah satu prosedur bertemu petinggi adalah melalui Sespri. Sobat saya ini, begitu melihat rombongan ajudan yang super duper banyak itu, tidak mengizinkan masuk para ajudan itu.
Terjadilah keributan. Adu mulut yang gencar. Dengan tegas mbak Nuri mengatakan bahwa soal keamanan pejabat lembaga yang berkunjung ke kantornya adalah tanggung jawabnya, dan dia jamin aman. Tidak ada bahaya yang mengancam, sehingga ajudan tidak perlu masuk ke ruangan pertemuan. Tapi, mereka tetap memaksa masuk karena harus memastikan keamanan bosnya.
Mbak Nuri sama sekali tidak gentar, meski para ajudan itu sosoknya tinggi besar. Maklumlah bule. Adu urat leher berlanjut beberapa lama.
Dengan marah, salah seorang ajudan berteriak, ”Who do you think you are?”.
Mbak Nuri tidak kalah gertak. Dia melepas sepatu, naik ke atas kursi yang ada di dekat situ, berdiri berkacak pinggang, dan balas berteriak, “Who do you think you are, then?”. Si Bule terngaga, terkejut bukan alang kepalang. Sekarang posisi mbak Nuri lebih tinggi dari dia, jadinya si Bule harus sedikit mendongak untuk melihat Sespri galak ini.
Pada akhirnya, percekcokan itu dimenangkan oleh Mbak Nuri. Bagaimana pun, semua pihak harus tunduk pada aturan yang dijalankan oleh otoritas.
Nah, rupanya kesigapan Mbak Nuri naik kursi itu terlihat oleh petinggi negeri ini. Usai pertemuan, yang memang aman-aman saja, sang petinggi bertanya, “Kenapa tadi naik kursi Nuri?”
“Abis leher saya pegal, Pak. Dari tadi harus menengadah terus,” jawabnya dengan santai.
Maka pecahlah tawa Pak Petinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H