Namanya juga manusia, pastilah butuh materi, sandang dan pangan guna menopang kehidupannya, tak terkecuali seorang penceramah, atau lebih dikenal dengan sebutan ustadz. Namun pantaskah jika ia memasang tarif tinggi atas jerih payahnya setelah berdakwah untuk umat? Masalah begini, pro kontra cenderung terjadi. Saya sendiri berada pada posisi kontra, dimana menurut pemahaman saya, ustadz atau penceramah bukanlah profesi seperti dokter, hakim, polisi, atau pegawai kantoran. Seandainya ia masuk dalam kategori profesi, berarti memiliki gaji/ upah standarisasi. Aneh, kan? Tak dapat dipungkiri bahwa jaman sekarang masih banyak masyarakat awam yang salah kaprah ketika memberi label. Ada sosok yang mahir bicara, hafal beberapa hadits dan fasih membaca ayat sedikit saja langsung dipanggil ustadz. Memakai sorban atau baju agamis pun cenderung dikaitkan dengan tingkat kealiman. [caption id="attachment_206821" align="alignright" width="300" caption="Sumber: Google image"][/caption] Ustadz adalah seseorang yang mempunyai kelebihan serta berkompeten karena mampu menguasai dan memahami seluk beluk ilmu agama dari hal terkecil hingga yang besar. Di sisi lain, seorang ustadz tentu harus bisa bertanggung jawab sekaligus menjalankan apa yang telah disampaikannya pada jama'ah. Nah, kalau ada ustadz yang sering bergaya ala selebritis dan berpenampilan hedonis, PANTASKAH ia menyandang gelar ustadz di saat sebagian umatnya masih hidup melarat? Apakah ia terlanjur khilaf menjadikan agama sebagai alat pemuas nafsu duniawi? Bukan maksud hati berburuk sangka, tetapi sekali lagi, sungguh sangat tidak pantas jika seorang ustadz sampai memasang tarif, apalagi ia cuma tampil saat moment bulan suci dan untuk memenuhi rating stasiun televisi. Kalau pun demi alasan biar dapur ngebul, di luar aktifitasnya sebagai pendakwah, ia masih bisa bekerja formil atau wira usaha. So, kadang kala saya jadi berpikir nyeleneh. Apa bedanya ustadz bayaran tadi dengan pelacuran? Tipis sekali. Ustadz karbitan cenderung memuaskan nafsu dirinya, pelacur memuaskan pelanggannya, tetapi itu semua bermuara pada satu kata, TARIF. Anda punya pendapat lain? Salam Pedez Note: Saya terpaksa membandingkan dengan istilah pelacur (sama-sama bukan profesi) khusus untuk ustadz-ustadz karbitan karena kejengkelan yang sudah memuncak. Selebihnya, saya tetap menghargai sosok ustadz yang benar-benar ustadz.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H