Konflik di Papua berakar dari ketidakadilan yang muncul akibat distribusi hasil pembangunan ekonomi yang tidak merata selama masa Orde Baru. Ketidakmerataan ini akhirnya menjadi upaya pemiskinan yang terstruktur dan berkelanjutan, baik disengaja maupun sebagai dampak dari konsep pembangunan ekonomi yang diterapkan. Konsep ini, yang juga berfungsi sebagai ideologi negara, secara tidak langsung menempatkan kebutuhan pusat sebagai prioritas, mengesampingkan kepentingan daerah yang menjadi sumber dana pembangunan. Kebijakan otonomi khusus Papua, yang diresmikan melalui UU No. 21 Tahun 2001 pada November 2001, memiliki banyak perbedaan signifikan dan mendasar dibandingkan dengan undang-undang otonomi daerah lainnya. UU ini merupakan kompromi politik yang penting dan dirancang khusus untuk merespons tuntutan kemerdekaan di Papua. Proses penyusunannya melibatkan partisipasi yang luas, melalui konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan di Papua dan diskusi intensif di antara tim perumusnya di Papua, sebelum akhirnya dibawa ke proses legislasi di DPR Jakarta.[1]
Papua, sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia, telah diberikan status Otonomi Khusus berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001, yang kemudian diperbarui dengan UU No. 2 Tahun 2021 tentang perubahan kedua atas UU No. 21 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua serta perubahan atas Perpu No. 1 Tahun 2008. Pemberian otonomi khusus ini didasari oleh kenyataan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam di Tanah Papua belum optimal dalam meningkatkan standar hidup penduduk pribumi. Hal ini mengakibatkan kesenjangan yang signifikan antara Papua dan daerah-daerah lain di Indonesia. Oleh karena itu, tujuan dari Otonomi Khusus adalah untuk membantu Papua dan warganya mencapai standar hidup serta peluang yang setara dengan daerah lainnya di Indonesia.
Setidaknya terdapat tiga keistimewaan utama sejak diberlakukannya UU Otonomi Khusus No. 21 tahun 2001, yaitu: 1) Papuanisasi birokrasi, yang mencakup pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan anggota dari masyarakat adat, organisasi masyarakat adat, dan lembaga keagamaan yang dipilih secara demokratis oleh Orang Asli Papua (OAP); 2) Otonomi kebijakan, di mana melalui Otonomi Khusus, pemerintah provinsi Papua memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan yang ditujukan bagi OAP di semua sektor, kecuali dalam urusan internasional, pertahanan, kebijakan moneter dan fiskal, agama, dan keadilan; 3) Dana bagi hasil yang lebih besar dibandingkan daerah lain, di mana provinsi Papua menerima 80% pendapatan dari sektor kehutanan, perikanan, dan pertambangan, serta 70% dari sektor minyak dan gas bumi hingga tahun 2026, dan 50% pada tahun-tahun berikutnya, sementara provinsi lain tidak mencapai 20% di setiap sektor kecuali perikanan dan reboisasi. Selain itu, Papua juga menerima Dana Otonomi Khusus yang besar dari pemerintah pusat, sebesar 2% dari total Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional hingga tahun 2021. Keistimewaan-keistimewaan ini diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Papua sebagai upaya untuk membangun Papua melalui pendekatan kesejahteraan.[2]
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terdiri dari tiga dimensi utama: umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak. Dimensi umur panjang dan hidup sehat diukur melalui Umur Harapan Hidup saat lahir (UHH), yaitu jumlah tahun yang diharapkan dapat dicapai oleh bayi yang baru lahir jika pola kematian menurut umur tetap sama sepanjang hidup. Dimensi pengetahuan dinilai melalui indikator Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Harapan Lama Sekolah (HLS). RLS mengukur rata-rata lamanya (dalam tahun) penduduk usia 25 tahun ke atas dalam menempuh pendidikan formal, sedangkan HLS menggambarkan lamanya (dalam tahun) pendidikan formal yang diharapkan akan dijalani oleh anak-anak di masa depan. Dimensi standar hidup layak dinilai berdasarkan pengeluaran per kapita yang disesuaikan dengan paritas daya beli (purchasing power parity). IPM dihitung sebagai rata-rata geometrik dari indeks kesehatan, indeks pengetahuan, dan indeks pengeluaran, dengan proses standardisasi menggunakan nilai minimum dan maksimum dari masing-masing komponen. Meskipun Papua memiliki luas wilayah, keberagaman kekayaan alam, dan keindahan yang melimpah, jumlah penduduknya tidak sebanding. Menurut BPS (2017), Provinsi Papua memiliki kepadatan penduduk sebesar 10 jiwa/km pada tahun 2015, berbeda jauh dengan Pulau Jawa yang memiliki kepadatan 19.872 jiwa/km pada tahun yang sama. Rendahnya kepadatan penduduk di Papua dianggap sebagai salah satu faktor yang menghambat optimalisasi pengelolaan sumber daya alam. Selain itu, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah juga menjadi alasan mengapa Provinsi Papua masih tertinggal dibandingkan provinsi lain di Indonesia.[3]
DAFTAR SUMBER
Azmi Muttaqin, Otonomi Khusus Papua: Sebuah Upaya Merespon Konflik dan Aspirasi Kemerdekaan Papua, Jurnal Artikel.
I Nyoman Sudira dkk., "Pembangunan, Marginalisasi, dan Integrasi Papua," Jurnal Masyarakat Indonesia, Volume 48, No. 1 (2022): 147.
Umirul Ham dan Hielda Octaviani, "Dampak Kebijakan Otonomi Khusus Terhadap Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di Papua," Musamus Journal of Public Administration, Vol. V No. 1 (2022): 70.
-
Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H