"Nisa, ini uang sakumu?" kata Ibu sambil menyerahkan lima lembar uang dua ribuan yang sudah agak kucel. Setelah itu, perempuan itu  pun berlalu dan melanjutkan menyelesaikan pekerjaan rumah.
Kuterima uang itu dengan harapan semoga cukup untuk  biaya transportasi hari itu, dan mampu menahan rasa lapar yang sering mendera saat berada di sekolah. Kuperhatikan, perempuan berkulit coklat yang hampir jarang tertawa itu makin terlihat tua, karena beban hidup yang mengimpitnya.
Sebagai single parent Ibu mencari nafkah sendiri sejak berpisah dengan Bapak. Untunglah perempuan itu sudah terbiasa menderita sejak kecil. Pengalamannya berdagang pun sudah cukup lama.
Aku menerima uang itu dengan ekspresi datar. Ingin sekali suatu saat mendapat uang saku berlebih seperti teman-teman lain agar dapat jalan-jalan setelah sekolah usai.Â
Namun, angan dan impianku sampai detik ini pun belum mampu terealisasi. Aku sangat maklum dengan kondisi seperti ini. Seperti maklumku pada sosok perempuan yang tidak pernah mengenal gincu itu. Kondisi yang selalu dipaksa untuk memahami keadaan.
Uang sebesar itu hanya cukup untuk membayar angkutan umum. Uang jajan? Tidak pernah ada uang jajan bagiku. Cukup tidak cukup, uang sepuluh ribu rupiah itu harus kugunakan sebaik mungkin.Â
Makanya hampir setiap hari Senin dan Kamis aku selalu mengaku puasa. Malu sebenarnya harus berbohong pada teman-teman. Demi apa? Ya, demi menjaga diri  tetap teguh pada prinsip, dan agar cukup serta tidak  perlu jajan di sekolah.
Aku Nisa, perempuan yang tiga hari lagi berulang tahun ketujuh belas. Namun, setua ini  kue ulang tahun atau nasi kuning pun tidak pernah dapat  kunikmati saat hari istimewa itu tiba. Boro-boro kue ulang tahun, orang serumah ingat hari lahirku saja tidak pernah ada.Â
Ucapan? Tidak pernah tebersit selarik kalimat yang dapat membuat mataku berkaca-kaca. Semua kulewati begitu saja. Hari-hari berjalan seakan tidak ada warna dan pelangi. Datar ya semua tampak lurus dan datar-datar saja.
Haruskah aku protes pada keadaan yang seakan tidak adil? Oh, no! Saudaraku empat orang, tiga laki-laki dan satu perempuan. Aku terlahir sebagai anak bungsu.
Aku terlahir dari keluarga broken home harus merasakan pedihnya kehilangan kasih sayang orang tua. Ketidak harmonisan antara Bapak dan Ibu sudah tampak saat aku masih di bangku sekolah dasar. Percekcokan rumah tangga hampir setiap hari terjadi. Kata-kata kasar dan tidak pantas didengar meluncur bagai gemuruh air hujan yang membasahi bumi.