"Mbak, aku pinjam uangnya lima puluh ribu, please!" rengek Yadi adik iparku siang itu tanpa melihat kondisiku yang saat itu baru saja pulang kerja.
Tubuh yang lelah, keringat masih bercucuran, Â haus dan lapar, Â membuat moodku tiba-tiba hilang. Hampir tiap hari lelaki berumur dua puluh lima tahun itu selalu merecoki rumah tanggaku. Entah minta uang, rekening listrik yang belum dibayar, bahkan untuk membeli rokok pun dia kerap memaksaku.
Aku hanya mampu mendengus pelan, meskipun dongkol rasa hati ini. Namun, aku  masih berusaha untuk bersabar.
"Ntar, Yad. Mbak baru saja pulang, sepatu juga baru saja dilepas, baju belum ganti. Nanti habis mandi ke sini lagi ya," kataku datar dengan wajah sedikit ditekuk.
"Halah, Mbak. Uang segitu saja kan kecil, dibanding gajimu yang berjuta-juta. Pelit banget, sih, Mbak!"
Kututup telinga dengan kuat dan langsung masuk ke kamar untuk menghindari suaranya yang makin menyakitkan hati dan tidak rasional.
Ya Allah, kuatkanlah hati ini menghadapi adik ipar yang tahunya hanya minta, dan minta saja, lirihku menghibur diri.
Kurebahkan tubuh lelah ini, dan kupaksa mata terpejam meski hanya sekejap.
Dari luar kamar, terdengar suara Yadi yang  masih mengomel. Kubiarkan lelaki itu mengeluarkan segala sampah dan sumpah serapahnya. Kali ini aku tidak mau terpancing dengan segala permintaan dan ucapannya.
Aku, Dewi, perempuan berumur tiga puluh tahun, bekerja sebagai karyawati salah satu perusahaan swasta. Â Pernikahanku dengan Mas Hardi, kakak Yadi sudah berjalan sepuluh tahun. Anakku dua orang, dan masih bersekolah di sekolah dasar.
Saat ini, Yadi menempati rumah mertuaku yang keduanya sudah tiada. Jarak rumahnya dengan rumahku hanya beberapa meter, sehingga dengan mudah lelaki itu sering bertamu ke rumah.