"Nilai hidup tidak ditentukan oleh gaya, tetapi oleh karya nyata."
"Assalamualaikum," suara seorang wanita mengagetkan pagi itu. Suara yang terdengar asing di telinga, tetapi prasangka buruk segera kutepis. Aku yang sudah siap menuju kamar mandi, terpaksa mengurungkan niat itu. Kulangkahkan kaki menuju pintu depan. Saat pintu dibuka, terlihat  sesosok wajah perempuan asing mengulum senyum. Seorang wanita yang belum dikenal baik, kali ini membuat diri ini  banyak bertanya dalam hati.
"Tadi saya diantar Mas Yadi ke sini, Bu," kata wanita itu saat memulai percakapan dan menghilangkan rasa penasaranku. Dia biasa berbelanja di tempat Mas Yadi, seorang penjual sayur keliling. Setiap pagi Mas Yadi menggelar dagangan di halaman rumahnya. Saat menjelang siang baru mengelilingi kampung dan beberapa kampung tetangga.
Hm ... ada apa ya kok sepagi ini sudah bertamu? Ah, jangan-jangan bermaksud kurang baik. Berbagai pertanyaan aneh pun muncul, membuat makin sanksi dengan akal sehatku. Tidak kupedulikan lagi  penampilan yang kurang rapi.  Baju kotor yang telah sedikit basah oleh air cucian alat rumah tangga, dan tamu pun dipersilakan untuk masuk.
"Mari, Bu. Hm ... panjenengan Bu Rini, kan?" tanyaku mendahului sapa basa-basinya.
"Ya, Bu," jawabnya dengan senyum yang agak dibuat-buat. Tiba-tiba aku merasa muak dan tidak suka dengan senyumnya yang penuh pesan tersembunyi.
Entah mengapa nuraniku sudah merasa bimbang. Sementara akal sehatku saat itu masih mengarahkan untuk berpikir secara waras.
Namun, gerak-gerik wanita itu makin meyakinkanku untuk selalu waspada.
Wanita itu berkali-kali memohon maaf padaku. Mungkin dia merasa tidak tepat waktu bertamu saat kebanyakan orang mulai beraktivitas untuk bekerja. Apa pun alasannya, tetap saja nuraniku sedikit menolak.
Dengan senyum yang sedikit dipaksakan akhirnya dia pun segera menyampaikan maksud kedatangannya.
"Begini, Bu. Anak saya yang ketiga kan akan melaksanakan wisata sekolah besok Sabtu. Kebetulan uang saya belum mencukupi untuk memberinya uang saku. Biaya memang sudah tertutupi, tetapi uang saku anak itu belum ada sepeser pun. Aduh, saya malu sekali sebenarnya, Bu, sampai datang jauh-jauh ke sini."