"Ya sudah Mas, tapi aku tetap pingin punya rumah sendiri," nada Rani  mulai agak meninggi.
"Sabar dulu Ran, itu nanti kita pikir bersama. Sekarang yang penting kita dapat berbakti pada orang tua yang masih hidup. Lagi pula bapak kan gak rewel orangnya. Diam gak banyak tuntutan ini itu."
Sebulan kemudian, Doni meminta izin pada bapaknya untuk membangun rumah di pekarangan yang masih cukup luas milik bapaknya.
Pekarangan yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah bapaknya sudah mulai dibuat fondasi.
Rani bahagia sekali karena yang diinginkannya hampir terwujud. Sebuah rumah yang dihiasi keramaian canda tawa anak-anak.
Suatu sore yang cerah. Langit merah merona menyambut datangnya waktu magrib. Rani dan Doni duduk di ruang tengah ditemani bapak mertua menikmati teh hangat dan pisang goreng hasil panen dari pekarangan. Doni pun memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya.
"Pak, sebentar lagi saya mulai membangun rumah, mohon doanya semoga diberi kelancaran dan segera selesai," kata Doni pada bapaknya.
"Ya saya doakan, semoga segera selesai, nanti bisa langsung ditempati."
"Bapak besok tidak usah khawatir masalah kebutuhan setiap hari. Biar Rani yang mencukupi," pinta Doni pada bapaknya.
"Ya, itu mah gampang. Oh, ya, ini ada sedikit uang untuk tambahan membeli semen," kata Pak Kliwon sambil menyodorkan sejumlah uang beramplop kuning pada Doni.
"Gak usah Pak. Saya sudah ada biaya kok," tolak Doni halus.